Bab 10 | Teror

58 12 0
                                    

Ada lima lukisan yang terpajang di lorong. Semua diletakkan sejajar namun dengan ukuran yang berbeda-beda. Aku terdiam memerhatikan pameran seni gratis di lorong sekolahku.

Sejak lama lukisan-lukisan itu dipajang, tapi jarang sekali ada yang menggubrisnya. Salah satunya adalah buatan guru seni di sekolahku. Ia begitu pandai. Aku kagum terhadap karya-karyanya.

Ditampilkannya seorang ibu dengan lilitan kain merah yang digunakan untuk menggendong anaknya. Pakaian lusuh, kaki kotor, dan parang di tangannya. Serta latar berupa ladang dengan rumah gubuk yang terlukis dengan detail membuat mataku ingin selalu melihatnya setiap kali aku berjalan melewati lorong.

Johannes Elbert adalah pengajar tertua di sekolahku. Ia lahir pada tahun 1924, kini usianya lima puluh delapan tahun. Ia adalah seseorang yang telah menyaksikan banyak sekali peristiwa di hidupnya.

Suatu hari ketika jam pelajaran seni berakhir, anak-anak berlarian meninggalkan buku-bukunya di kelas. Tersisa aku dengan kertas dan pensil yang masih berada pada tanganku, dan Tuan Elbert yang tiba-tiba saja tertarik untuk berjalan kearahku.

Kami mengobrol ringan hingga akhirnya Tuan Elbert bercerita mengenai masa mudanya. Ia menyesal sendiri ketika mengingat dirinya di masa lalu. Ia adalah seorang Pemuda Hitler dulu. Menyebarkan poster propaganda, berbaris dengan drum dan bendera-bendera. Ia begitu mendambakan medan perang sebagai pengabdian kepada tanah air.

Hari-hari di masa kecilnya perlahan pudar, tersisa sebagai kenangan. Ia kehilangan kakak tersayangnya di suatu peperangan. Elbert muda menangis tersedu-sedu dan mulai memahami apa arti perang sesungguhnya.

Kini ia menjalani sisa hidupnya sebagai pelukis tua. Ia mengabdikan diri di sekolahku sejak lama. Bisa dikatakan ia menua bersama kariernya di sekolah ini. Dan kini, aku mendengar kabar burung mengenai dirinya. Tidak lama lagi ia akan pergi dari sekolahku, ia berhenti dari profesinya.

Di masa-masa terakhirnya menjadi seorang pengajar, ia ingin keberadaannya diingat melalui peninggalannya di lorong. Ah, ia banyak memberiku inspirasi. Meskipun kami sudah jarang mengobrol lagi, aku masih mengaguminya. Kini aku terduduk di lantai lorong, tepat di depan lukisannya. Aku hadir bersama tumpukan kertas di pangkuanku dan pensil di genggamanku.

Aku menumpahkan seluruh perhatianku di atasnya. Guratan-guratan halus mulai bermunculan. Pensilku menari dengan bebas di atas kertas. Pikiranku terus bersenandung, memanggil imajinasi yang kini melekat erat padanya.

Ketika aku tenggelam dalam ketekunan,
aku melihat kaki seseorang yang melintas di hadapanku. Ah, itu sungguh mengusik. Ketika aku mengangkat wajahku, aku melihat Markus tengah berjalan menyusuri lorong.

Kemunculannya mengingatkanku akan sikapnya belakangan ini. Tidak lama setelah pertemuan kami--ketika ia melangkah di tepi jalan berbatu dan aku mengantarnya pulang--entah kenapa ia bersikap acuh tidak acuh kepadaku. Ia berwajah masam, menatapku dengan hina, atau lari terbirit-birit menghindariku.

Itu sungguh menjengkelkan. Aku dihindari tanpa tahu apa yang aku perbuat padanya. Memalingkan muka adalah hal tidak terpuji ketika seseorang menyapamu, dan itu yang dilakukan Markus. Ia menjauh dan terus menjauh, bersikap seolah kami pernah terlibat sebuah pertengkaran hebat.

Markus yang sedang melangkah melirik ke arahku. Tatapan matanya tajam, mencoba mengenali siapa sosok yang terduduk di lantai lorong. Begitu ia tahu itu adalah aku, Markus meringis ngeri dan mempercepat langkahnya.

Lihat, sikapnya sungguh dipenuhi tanya. Aku memasukkan kertas-kertas itu ke dalam tas dan memutuskan untuk meninggalkan guratan-guratanku di atasnya. Kini aku beranjak dari sana dan mulai mengikuti langkah Markus.

Ia telah berada jauh di depanku. Aku melihatnya memasuki perpustakaan seorang diri. Aku mengendap-endap dan merapat ke dinding. Di dekat daun pintu, sejenak aku berhenti. Dapat kupastikan ia sedang membuka-buka halaman buku.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang