Bab 37 | Wajah-wajah yang Bersedih

17 8 0
                                    

Awan di atas kepalaku menangis, bahkan ketika orang-orang di rentang langit yang sama sedang bersuka cita. Setidaknya untukku, untuk menggambarkan dengan apa aku berkemul-kesedihan. Bau pemakaman begitu kuat, membuatku tidak lagi mengenali warna-warna di dunia. Semuanya terlihat hitam-putih. Ini duniaku, dan aku menelan realitanya. Ketika peti itu dimasukkan ke tanah, aku tahu bahwa keberadaannya di sini benar-benar berakhir. Tidak ada lagi raga yang bergerak sebagai sosok Ibu. Ketika kami baru saja mengulang kisah yang telah berlalu, ketika perlahan hatinya mencair dan kembali menjadi sosok yang kurindukan, ia akhirnya pergi. Sosok itu tidak akan pernah kembali, bagaimanapun tetap tidak, dan itu menjadi penyesalan terbesarku.

Aku berdiri dengan setelan hitamku. Orang-orang dalam kain yang senada pun mengelilingi liang tempat Ibuku dimakamkan. Aku melihat betul wajah-wajah itu. Mereka berlinang air mata dan mengenang Ibu sebagai sosok yang pantas dirindukan. Kebanyakan dari mereka telah mengenal Ibuku sejak lama, dan mereka mengenali Ibuku sebagai Magdalena yang penuh kasih dan ceria, penyayang dan hangat yang bahkan kisah kematiannya tidak pernah diduga oleh siapapun. Wanita itu semakin tertutup, bahkan ia hanya menceritakan masalah yang membebaninya kepada si pemilik toko bunga. Itu semua menimbulkan kegegeran ketika berita kematiannya sampai kepada teman-teman lamanya dan orang-orang yang sekedar tinggal di sekitar rumah kami.

Mataku bergerak mengelilingi lingkaran kesedihan itu. Aku menyadari beberapa rekan dari sekolahku hadir. Mereka turut berdiri di dalam deretan. Mataku menjelajah semakin jauh, hingga aku sampai pada sisi sebelahku. Aku terkejut dengan keberadaannya, aku baru saja menyadari anak itu hadir di sebelahku. Markus, anak berkacamata itu menundukkan kepalanya dan terlihat bersedih atas kematian Ibuku. Aku terus memerhatikannya, kesedihannya terlihat semakin dalam. Bahkan aku melihat tetesan air mata yang jatuh ke ujung sepatunya. Aku mulai merasakan krisis peranku di sini. Apa yang aku lakukan? Aku begitu sedih, tapi mengapa aku tidak menangis? Aku tidak bisa melakukannya. Di saat orang-orang itu berduka, menundukkan pandangan mereka dan menutupi tangisan mereka dengan sapu tangan, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama?

Dari celah-celah sempit itu Lutz muncul. Ia berjalan mengeliling liang kubur dan berhenti di sebelahku. Ia terus memandangiku meskipun aku tidak membalas tatapannya. "Entah sudah berapa kali aku mendatangi pemakaman, sebagai sosok yang hidup atau mati. Tapi, kebanyakan kulakukan ketika aku mati. Anak yang mati karena demam, petani yang kelaparan, suami yang meninggal dan janda yang bunuh diri setelahnya. Wajah orang-orang selalu sama, mereka sangat berduka, menangis," Lutz memandangi wajah orang-orang itu setelahnya. "Dan di antara mereka selalu ada seseorang yang tidak meneteskan air mata sedikitpun, bahkan ia bingung kenapa ia tidak bisa melakukannya," ucapnya. Aku kembali tertunduk.

"Orang itu adalah aku," Lutz menyeringai. Ucapan itu pun mengundangku untuk memandanginya lebih lama lagi. "Ketika aku menghadiri pemakaman salah satu Pamanku, aku tidak menangis seperti mereka. Ya, bahkan aku tidak bisa. Waktu itu aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa menangis. Tetapi, semakin lama aku menyadarinya. Mungkin karena pamanku itu tidak meninggalkan kesan apapun untukku. Aku tidak pernah berbagi kisah suka atau duka dengannya, kami juga tidak berbagi nasib yang sama. Oh Tuhan, bahkan kami saling tidak peduli. Bahkan aku tidak merasakan perbedaannya, tiba-tiba pamanku sudah tidak ada lagi," ia pun mengakhiri ceritanya. Bocah itu tersenyum lebar dan mulai menatapku.

Aku menyembunyikan wajahku darinya. Lebih tepatnya, aku menyembunyikan mataku yang masih kering. Ucapan Lutz cukup membuatku terkejut dan kembali bertanya-tanya kepada diriku. Bukankah aku mencintai Ibuku? Seharusnya aku tidak perlu meragukan hal itu. Namun, kenapa itu bisa terjadi? Bagaimana dengan kenangan masa kecil yang begitu membekas di benakku? Bagaimana bisa aku lupa dengan itu? Oh, hatiku yang membeku. Kisah-kisah mengerikan itu telah membutakanku. Aku semakin gundah. Di tengah pemakaman yang sendu, aku mulai mempertanyakan perasaanku.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang