Cuaca tidak terlalu bagus hari ini, tapi cukup membuatku tenang untuk mengayuh sepeda. Embusan angin tidak pernah berhenti meniup surai gelapku. Rindang pohon di tepi jalan bergantian menyambut kedatangan aku dan Markus di atas sepeda tuaku.
Aku belum menyebutkan sedikit pun kata kepada Markus. Markus terlihat tidak tertarik untuk membicarakan satu atau dua hal denganku. Aku sama sekali tidak menyerbunya dengan hujatan jahat untuk hal itu.
Kurasa anak itu hanya belum memercayaiku untuk ia beritahu sesuatu atau hanya sekedar membahas obrolan ringan. Tidak satu pun sikap diamnya menyurutkan niatku untuk berbicara sesuatu kepadanya.
"Aku pernah melihatmu. Kau ingat? Ketika aku berpapasan denganmu di tangga. Lalu tentang ketidaksengajaan lainnya yang membuat aku bertukar tatap denganmu," ucapku.
"Ya, aku ingat. Bahkan sebenarnya aku tahu namamu tanpa harus kau memperkenalkan dirimu tadi."
Oh, dia tahu namaku? Sungguh, diam-diam ada pelangi di wajahku. Setidaknya seseorang bisa tahu namaku tanpa aku harus menyebut namaku di depan wajahnya. Mengingat aku ini tidak banyak bicara dan mencari-cari perhatian. Ya, kau tahu? Ada beberapa anak yang terjun dari lantai dua demi mendapat validasi akan keberadaannya dari orang-orang.
Aku tahu beberapa hal tentangnya. Markus Markovic, seorang anak berdarah campuran Serbia. Aku ingat, waktu itu aku tidak sengaja bertemu dengan seorang anak berambut gelap dengan kacamata bundar. Ia memiliki kedua mata yang sayu, berwajah lembut dan tampang kutu buku.
Tingginya tidak jauh berbeda dengan Lutz. Kepala kedua anak itu sejajar dengan daguku. Umur Lutz kuduga adalah sepuluh tahun. Sedangkan Markus, entahlah, kurasa tidak jauh berbeda denganku. Dulu ketika pertemuan pertamaku dengan Markus, anak itu sedang duduk di tangga. Ia bicara sendiri dengan bahasa yang tidak aku mengerti.
Ia terdiam ketika aku muncul dan menyaksikan tingkah anehnya. Di pangkuannya terdapat buku dengan sampul cokelat bertuliskan namanya, yaitu Markus Markovic. Kami beradu tatap lumayan lama, sampai akhirnya ia memutuskan untuk kabur dari hadapanku.
Mungkin kebetulan, sejak itu Markus jadi sering berpapasan denganku. Yang kami lakukan cuma saling lirik, bahkan senyum saja tidak. Setelah itu kami bersikap seolah tidak pernah berpapasan di jalan manapun. Karena memang pertemuan pertamaku dengannya hanya sebatas orang asing yang ingin lewat tangga, tapi ada yang menghalanginya.
Ah, itu dia! Anak yang bicara sendiri di tangga! Begitu gumamku setiap aku bersitatap dengannya. Iseng aku bertanya, dari mana ia tahu namaku. Aku sungguh berharap ia tahu akan keberadaanku dari prestasiku di perlombaan lari. Ini memang terdengar seperti kesombongan, tapi ini adalah satu-satunya pencapaian super yang aku miliki. Namun, jawabannya sama sekali tidak menyinggung soal kemenanganku di perlombaan itu.
"Kami semua tahu, Konrad. Kau adalah seseorang yang dicelakai Verbinsky. Itu menyedihkan, kau tahu? Kami pernah bersimpati kepadamu," ucapnya. Kemudian Markus tertunduk dan memandangi kakiku di pedal sepeda. "Itu sudah membaik? Kau tidak lagi berjalan dengan tongkat seperti dulu?"
"Ya, aku meninggalkan sekolah beberapa waktu untuk memulihkan kakiku. Ini sudah membaik, tetapi sedikit meninggalkan kaku," jawabku.
Kami terdiam lagi. Waktu melayang dengan begitu canggung. Markus diam, aku juga diam. Kepalaku berpikir keras memikirkan obrolan apa lagi yang harus aku tumpahkan. Ah, ini membuatku sadar kalau kami benar-benar asing. Aku mulai menyesal karena mengikuti saran Lutz. Lagipula, kenapa Lutz sangat menginginkan aku berbicara dengan Markus? Apakah ia berpikir kami akan menjadi kawan baik?
Aku ragu--aku sadar begitu melihat situasi ini--jelas kami sama-sama orang yang sulit untuk bicara. Maksudku, kami kesulitan membuat diri kami nyaman satu sama lain. Tidak seorang pun yang didasari oleh keinginan kuat untuk bicara dan saling mengenal.
Aku mendengus kesal. Ah, sebenarnya apa yang membuat Lutz begitu memaksaku melakukan ini? Apakah ia peduli denganku? Lutz pasti berpikir bahwa aku berjalan dengan begitu menyedihkan di duniaku yang sepi. Mungkin jika memang itu kenyataannya, aku tidak bisa membantahnya. Aku memang sendirian. Ah, diriku yang membingungkan. Sebenarnya, apa yang aku inginkan?
Akhirnya aku bisa bernapas lega ketika Markus menunjukkan sebuah tikungan, itu akan membawanya ke kediaman tersayangnya. Begitu sampai di depan halamannya, sepedaku berhenti. Markus mulai turun dan menginjakkan sepatu hitamnya di tanah. "Terima kasih," ucapnya. Markus tersenyum dan menepuk-nepuk pundakku.
Anak itu membalikkan tubuhnya menuju sebuah rumah bercat putih dengan ayunan di halamannya. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti dan kembali menyerukan namaku.
Aku sontak menoleh dan menatap Markus yang mulai menunjukkan serius di wajahnya. Markus berdiri mematung sampai akhirnya anak itu memutuskan untuk berbisik di telingaku."Aku tidak melihat seorang pun di sana ketika kau tengah berdebat dengan sesuatu. Konrad, dengan siapa kau bicara?"
Aku menolak untuk berbicara apa pun tentang Lutz kepada orang-orang. Bahkan jika aku mau, aku pun tidak tahu akan bicara apa tentangnya. Aku sendiri masih menyimpan begitu banyak pertanyaan mengenai kehadiran Lutz di kehidupanku.
"Markus, terkadang ada sebuah pertanyaan yang tidak bisa terjawab dengan sederhana, dan terkadang ada suatu hal yang tidak bisa disaksikan oleh banyak mata."
Aku kembali mengayuh sepedaku meninggalkan Markus yang masih terdiam mematung. Maaf untuk Markus, sepertinya aku meninggalkan banyak pertanyaan yang akan mengganggu hari-harinya, sama seperti Lutz yang selalu membuat tidurku tidak nyenyak dengan ucapan-ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Misterio / SuspensoKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...