Bab 55 | Jejak Rudolf: Pembenci

18 6 0
                                    

Hanya ia yang selalu terlihat, kebetulan yang menjengkelkan karena posisinya berseberangan denganku. Tidak ada embun yang dengan senang hati menyambut. Baju-baju yang tergantung menutupi dinding. Bahkan angin tidak sanggup bertiup dari lubang persegi di atas sana. Jendela yang hampir tidak berguna, tapi setidaknya itu bisa mendatangkan garis-garis matahari. Tulang-tulang akan melemah jika terjebak di dalam sepanjang tahun tanpa sesekali keluar.

Sudah dua minggu  dan ia masih merintih karena hal yang sama. Pagi ini ia meringkuk di atas kasurnya yang lembap. Sekujur tubuhnya dipenuhi keringat, menguar bau penderitaan dari sana.

Dua orang lainnya berdiri di sisi ranjangnya sambil mengibas dengan potongan kardus. Teriakan sipir  terus mengganggu, mereka menarik garis di sepanjang jeruji dengan tongkatnya. Ia masih saja merintih, berpadu dengan kegaduhan itu.

Penderitaan, lukisan sengsara. Bukan tentang wabah atau demam mematikan. Seorang warga pinggiran kota yang hidupnya tidak makmur. Tinggal di rumah susun yang kondisinya mengerikan. Tidak memiliki aliran air yang baik, dan bau selokan tercium sepanjang hari. Hari ini kubis, esoknya tetap kubis. Situasi meja makan yang sunyi. Belum memiliki anak, melainkan seekor labrador. Hidup berdua dengan pasangannya, kemudian ditinggal pergi setelah jejak kriminalnya tercatat.

“Keluarlah. Olahraga atau membusuk.”

Semua melihatnya, seorang sipir berbadan gempal. Hampir saja tidak memedulikan siapa yang sedang meringkuk. Ia kembali lagi ke ambang jeruji. Tanpa berkata-kata, hanya memandanginya dengan heran.

“Ia terlihat sakit sejak lama. Entahlah, beberapa minggu? Ia selalu menutupinya.” Otto berhenti mengibas.

Si sipir masuk, terlihat agak terganggu dengan sumpek dan bau yang tidak sedap. Baju-baju yang menggantung mendapat perhatiannya. Alisnya mengerut ketika langkahnya semakin dekat dengan ranjang.

“Kuku kakinya tumbuh ke dalam dan tidak terawat dengan baik. Pasti infeksi,” Marek menimpali.

Sipir itu menyingkap ujung celananya. Matanya membentuk bulatan sempurna. Ia berjalan mundur sampai kaki ranjang ikut bergetar. Sebuah nestapa, entah sejak kapan. Tidak terlalu diperhatikan, tiba-tiba menggemparkan.

Jempol kaki yang memerah. Bercampur darah dan nanah yang meluber. Ia dibanjiri keringat dingin. Kerah bajunya dipenuhi liur, seperti anjing yang dijangkit virus. Ia terus-terusan menggigit sampai kerahnya basah.

“Sial!” Si sipir mendengus. Ia mendorong gerbang dan memeriksa suasana di luar. Yang paling diharapkan adalah kepeduliannya, atau seorang perawat yang akan memperbaikinya. Sipir itu melirik kepada Otto yang meremas-remas pakaiannya sendiri. “Tunggu saja, aku akan mengabari bagian kesehatan,” ucapnya.

Terlalu muda, hanya berusia dua puluh dua. Seorang pemalu yang selalu berdiam diri. Ia selalu berada di seberangku. Setiap malam ia memeloroti kaus kakinya untuk penampakan kaki yang tidak aku mengerti. Sebuah kebiasaan untuk mengusapnya dengan kain. Kotor, dipenuhi debu, tapi hanya itu yang dimiliki. Cukup beruntung ketika ia sempat membasuhnya dengan air.

Kondisi yang menyedihkan, bahkan sulit mengakses antiseptik. Tidak ada yang peduli, sipir selalu memandang itu bukan hal yang serius. Sepatu yang terlalu sempit, dan ia selalu memecah batu pada hari-harinya. Kali ini ia harus merintih karena jempol kakinya. Sebuah sakit yang membuat Otto dan Marek meringis ngilu.

Ketika aku berlari mengelilingi lapangan, mungkin bocah itu masih meringkuk di sel. Tadi kulihat matanya yang mulai basah. Tetap merintih, dibalas wajah kebingungan oleh Otto. Hingga ia dan Marek memutuskan untuk pergi, dengan ucapan kecil yang seolah memberinya harapan. Marek akan mendapatkan apa pun yang dibutuhkan. Setidaknya ia akan berusaha.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang