Bab 16 | Kisah Lutz: Penari

42 7 0
                                    

Lirikan mataku singgah sebentar di antara helai-helai rambut gelap itu. Aroma sendunya bahkan masih terendus meskipun ia tengah bergelut dengan lelap. Dapat kubandingkan hidupku yang dulu dengan miliknya yang hancur berantakan. Kami hampir sama. Kami sama-sama menderita. Menderita secara perlahan sambil menyaksikan waktu yang terus berguguran.

Berbeda denganku, Konrad tidak menderita karena masalah ekonomi yang jungkir balik. Keluarganya berkecukupan, meskipun tetap saja ada masalah lain yang menyiksanya pelan-pelan. Konrad hanya diberikan waktu sebanyak lima jentikkan jari untuk merasakan keharmonisan di keluarganya. Ya memang, keluargaku juga tidak begitu harmonis. Kehidupanku luntang-lantung dikejar oleh figur ayah yang selalu menodongku dengan ambisinya.

Sejak papa menjualku, aku tidak lagi melihat kampung halaman. Jejak-jejak kuda memudar dari tanah bersama dengan keberadaanku yang bernasib sama. Aku tidak lagi melihat Donna juga Mama. Aku menyesali pekan-pekan terakhirku di rumah. Aku tidak banyak bercengkrama dengan Mama.

Ya, ia memang tidak banyak berbuat ketika melihatku menjadi sasaran amukan Papa. Namun ketika terakhir kali aku melihatnya, Mama menangis dan bersandar di pagar kayu. Kalau Donna, entahlah. Aku meragukan dirinya mengerti dengan apa yang menimpaku. Aku harap mama akan memembawakan dongeng malam tentang kisahku kepadanya. Bukan sebagai anak yang dijual, melainkan sebagai anak yang peduli dengan nasib keluarga dan memulai petualangannya.

Aku memiliki kesibukan baru. Tuan Baldur membeliku bukan tanpa alasan. Ia pula yang meyakinkanku jika aku adalah seseorang yang berbakat.

Aku percaya Tuan Baldur adalah manusia ajaib. Ia seakan memiliki segalanya. Ia memiliki tempat pelatihan khusus untuk setiap anggota yang ia rekrut. Bahkan ia memberikan kami tempat tinggal. Tuan Baldur yang membawaku ke tempat pelatihan itu. Aku diatur untuk menampilkan keterampilan akrobat.

Dunia baru ini tidak terlalu buruk. Sudah satu tahun aku menghabiskan waktu di sini, dan aku telah melupakan kenangan buruk tentang perilaku papa. Di sini, semua orang bersikap menyenangkan. Bahkan mereka menyebutku sebagai kandidat baru bintang sirkus.

Sore itu, Tuan Baldur datang dan menduduki bangku di sebelahku. Aku menyambutnya dengan sedikit wajah berseri, tidak dapat kupungkiri aku agak lelah. Simpul-simpul sepatu kulepas dan kutanggalkan di balik tirai.

Tuan Baldur sibuk dengan cerutu, sementara aku terdiam dan menunggunya menyampaikan sepatah kata. Namun, ia tidak kunjung bicara. Kedatangannya hanya untuk menunggu matahari terbenam dan akan menyalakan lilin di sudut ruangan. Kebetulan saja ia bertemu denganku di sini. Memotong keheningan, aku tanya ia mengenai kabar usang itu.

"Bagaimana kabar kampung halamanku?"

"Aku sama tidak tahunya denganmu."

"Ke mana aku akan pergi nanti? Apakah jauh dari rumah?"

"Kemungkinan."

Aku sedikit tertunduk. Mendengar itu, kupikir aku benar-benar tidak akan melihat rumah lagi. "Aku merindukan rumah."

Tuan Baldur melirikku. Ia terdiam memandangiku. "Ini rumahmu." Seakan itu adalah hal yang pasti, Tuan Baldur tidak menggubris wajah senduku. "Apa yang kau harapkan dari tempat itu? Aku mengetahui kisahmu, kau dianggap tidak berguna di sana. Kau lihat? Bahkan kau lebih dihargai di sini. "

Matahari pun tenggelam, gelap segera menguasai bilik-bilik. Tuan Baldur beranjak dari kursi dan menyalakan lilin di ujung nakas. Lilin dengan apinya mengingatkanku kepada Papa. Ia yang selalu terbakar api emosi tanpa kusadari menjadi hantu di mimpiku. Malam ini atau malam sebelumnya, seharusnya aku bersyukur hantu itu tidak lagi mengunjungi mimpiku. Dengan begini, bukankah aku terbebas?

"Ini rumahmu. Kau dihargai, kau bebas." Ucapan terakhir Tuan Baldur seakan menerawang isi pikiranku.

Ia pergi meninggalkan lilin yang bertengger. Ia menepis tirai dan meninggalkan jejak ucapannya yang begitu membekas di ingatanku.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang