Bab 2 | Berkobar

99 22 0
                                    

Ada kolam ikan di sekolahku. Hari ini aku mengunjunginya di jam istirahat. Aku menduduki bangku panjang di sisi kolam ikan. Untuk beberapa saat aku memerhatikan ikan koi yang bermanuver dengan siripnya. Di waktu yang bersamaan suara gembira anak-anak terdengar dari bawah naungan pohon-pohon.

Oh, akan kukatakan bahwa ini adalah hari yang indah. Meskipun ujung-ujung sepatuku berdebu, dan kakiku terasa kaku akibat kecelakaan di hari-hari yang lalu. Tidak, seharusnya aku tidak mengingat kesialan hari itu. Pensil dan kertas lebih berhak kuberi perhatian daripada sepotong kisah buruk.

Garis-garis halus membekas di atas kertas putih. Perlahan-lahan pensil menari dengan riang di atasnya. Tarik ke sini, lalu ke sana. Terciptalah sihir yang tidak mampu dipatahkan. Ikan koi bersayap melintas di benakku. Dia membisiki seutas mantra guna menabuh badai di dalam benakku. Maka, terciptalah ledakan pelangi di permukaan kertasnya.

Ikan koi bersayap? Ini bukan ide yang buruk. Mungkin lain kali aku harus menggambar siput berkaki unta.

Sejak lama aku tenggelam, tapi bukan air bah pelakunya, melainkan kolam imajinasiku sendiri. Ya, bahkan aku hampir mengabaikan bunyi gesekan sepatu dari balik dinding dan suara siul yang bersahut-sahutan.

"Sedang menjalani kegiatan harian, Konrad Schröder?"

Sepasang kaki membayang dari ekor mata. Kaki bersepatu merah, dengan kumpulan kerikil di sebelahnya. Tidak lama setelah itu, dari sebelah kiriku dan depanku menyusul kaki-kaki lainnya. Aku tahu ini adalah pengepungan. Berulang kali namaku terselip di setiap rangkaian kalimatnya.

Oh, aku tidak sudi. Aku akan membayar mahal jika saja ada yang menawarkan jasa untuk menjahit mulut itu. Aku menengadah dan menyaksikan si rupa sialan dan boneka-bonekanya. Aku memulangkan pensil kayuku ke saku, dan melupakan tentang darahku yang meletup-letup juga berasap.

"Hendak mematahkan sisa kakiku, Verbinsky?"

Dia mendekat dan awan-kawannya menyaksikan. Terjadi jeda cukup lama setelah dia menyunggingkan senyum. Perlu diketahui, bahwa itu bukan senyuman cuma-cuma yang berarti persahabatan. Aku ingat betul kapan Verbinsky mendeklarasikan permusuhannya denganku. Padahal, pada awalnya kami bukanlah dua orang yang saling mengenal.

Asing, dia cukup asing. Persaingan adalah yang perlu bertanggung jawab atas semua ini. Setelah kami berjabat tangan pada bulan April, peperangan meletus, dan orang-orang terbagi menjadi beberapa kubu. Kubu pertama tentu akan menyerukan namaku di setiap pertandingan.

"Schröder! Schröder! Tendang dia dengan kaki besimu!" Seperti itu teriak mereka.

Kubu yang kedua adalah yang selalu menggemakan nama bocah itu kapan pun kesempatannya. Lalu, sisanya? Tentu mereka akan mendukung andalannya. Tapi tetap saja, kubu kami berdua mendominasi. Schröder dan Verbinsky, nama yang selalu terdengar ketika lomba lari tahunan dilaksanakan.

Aku bangga. Namaku melambung tinggi. Aku menggeser posisi Verbinsky tahun ini. Ia terlalu sering menduduki peringkat pertama. Aku muak mendengar namanya yang selalu terdengar nyaring di penjuru sekolah. Tentu semua orang terkejut dengan ukiran prestasi baru. Aku terbang tinggi, sementara Verbinsky membusuk di toilet sekolah.

Namun, siapa yang menyangka? Persaingan kami tidak hanya berakhir di gerbang sekolah. Kami terus bersitegang bahkan jika harus berpapasan di jalan menuju pasar, atau di dekat lampu merah. Aku tidak menyangka Verbinsky akan seserius itu menyikapi kekalahannya. Ia tidak akan mengijinkan kegagalan tersemat di bajunya.

Kekalahan adalah cambuk, mungkin itu yang membangunkannya dari tidur panjang. Kekalahan dan rasa dendam kembali menyorot namanya sebagai tukang tindas yang telah lama redup. Siapa lagi jika bukan ia yang mengirimkan kotak berisi bangkai burung di depan rumahku? Ditambah lagi dengan perilakunya di sekolah yang keterlaluan terhadapku, atau kepada orang-orang yang menopang jalan kemenanganku.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang