Bab 11 | Tersembunyi

50 10 0
                                    

Anak yang tidak benar-benar nyata itu enggan menyesali perbuatan buruknya terhadap Markus. Aku tidak berhenti menghujani Lutz dengan sorot mataku. Beruntung aku mengikuti langkah bocah Serbia itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi andaikan sejak awal aku enggan mengikutinya ke perpustakaan.

"Kau membisikinya dengan apa, Lutz?"

Lutz tersenyum lebar. "Bukan hal serius. Ia begitu menarik, aku hanya bertanya-tanya mengenai kehidupannya, " ucapnya.

"Ya, menarik! Tentu itu menarik bagi makhluk sepertimu untuk membuatnya takut."

Mata Lutz membesar. Senyumannya berubah kecut. "Kau tidak memahami ini, Konrad."

Markus masih di sana, bersembunyi di balik rak buku. Di tengah bisik-bisikku dengan Lutz, Markus menoleh ke arahku. Begitu menyadarinya, mulutku langsung bungkam. Markus tertunduk lesu dan mulai mengakui perasaannya yang mengganjal. Itu dimulai dengan pengakuannya tentang kejadian tempo hari.

"Maafkan aku, Konrad," ia menghela napasnya. Ia perlahan beranjak dari balik rak buku. Terhitung langkahnya hanya bergeser sejengkal dari sana. Ia masih bermandikan rasa takut. "Aku yang memutus rantai sepedamu," bisiknya.

Aku hampir tidak memercayai itu. Namun, raut wajahnya bersungguh-sungguh. Tentu setelah pengakuan itu, rasa kesalku memuncak. Mengingat hari-hari yang lalu, berarti aku salah sasaran. Memang benar bukan Verbinsky pelakunya.

"Untuk apa kau melakukan itu? Kau tahu? Aku hampir celaka lagi dibuatnya. Aku pikir Verbinsky yang berbuat itu, tapi ternyata kau, Markus, si pemilik wajah tidak berdosa."

Markus memandangi kedua tangannya. Tatapannya penuh sesal. "Maaf, Konrad," ucapnya dalam gemetar. "Aku adalah seorang pemberani. Aku tidak takut dengan kesendirian dan kegelapan. Namun, sejak hari kau mengantarku pulang, aku mulai kehilangan sifat itu. Hari-hariku dipenuhi teror, oleh sosok merangkak yang mengawasiku dari dalam kegelapan. Di atas lemariku, ia suka memandangiku dari sana. Ia tidak pergi, ia selalu mengikutiku."

Markus terus tertunduk selama ia bercerita. Digenggamnya saku celana dengan erat. Sementara itu, aku mulai menggulirkan mataku kepada Lutz. Ia di sana--pura-pura tidak dengar dan seolah tidak menyadari dirinya sedang dibicakaran--dengan kesibukan menghitung helai-helai rambutnya.

"Oh, maafkan aku!" Markus mengalami lemas di kedua lututnya. Ia terjatuh seketika dan terduduk dengan pasrah di lantai. "Aku tahu, ini adalah prasangka. Aku mengira pertemuan denganmu 'lah yang menyebabkan teror itu. Konrad, kau muncul sebagai sosok yang bicara sendiri dengan udara. Kau bertingkah seolah sesuatu ada di sana, dan kau mulai membicarakan hal yang tidak bisa dilihat banyak mata!"

Markus meringkuk lagi di sana. Aku perlahan berjalan mendekatinya dan terduduk di sebelahnya. Aku mengusap-usap punggungnya dengan harapan ia akan sedikit tenang.

"Aku berpikir itu ulahmu, Konrad. Jika saja aku tidak bertemu denganmu, sosok itu tidak akan pernah tahu keberadaanku dan mulai mendatangi rumahku. Kacau, aku sangat kacau. Bahkan aku menuduhmu tanpa bukti yang jelas," ucapnya tergesa-gesa.

Sontak aku melirik kepada Lutz yang juga tengah menyimak ucapan Markus. Kami saling tatap sambil menunjukkan wajah datar. Lutz mulai merasa iba, ia berlutut dan melayangkan tangannya di atas kepala Markus, bertingkah seolah ia tengah membelai kepalanya.

Aku menarik napasku dalam-dalam, tahan sebentar, dan embuskan. Pikirku, ini merepotkan, kau tahu?

Markus tidak salah dengan tuduhannya kepadaku. Memang aku yang membuatnya bertemu dengan lutz, meskipun aku tidak berniat membuatnya dihantui oleh entitas itu. Tentu saja, pada tudingan ini aku akan mengelak. Mengatakan yang sebenarnya hanya akan memperkeruh keadaan. Markus di sana, tersiksa dengan hari-harinya yang mencekam. Lutz muncul, tapi tidak dalam wujud yang aku lihat. Ah, jika saja aku jadi Markus, aku akan merasakan hal yang sama.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang