Tahun terus berganti, kini kami tiba pada tahun 1971. Usiaku sudah dua puluh dua. Hari itu, surat dari Rudolf akhirnya sampai setelah penantian panjang. Aku membacanya di atap bersama Erwin yang sibuk dengan rokoknya.
Sekarang Rudolf hidup di Berlin dan bekerja di sebuah pabrik enamel. Ia memiliki hidup baru dan memutuskan untuk menghapus semua yang pernah ia lakukan dulu. Anaknya sudah lahir, dan kini usianya empat tahun. Anak itu diberi nama Konrad.
Erwin terpingkal-pingkal setelah mendengar nama anak itu. "Konrad, Konrad, lagi-lagi Konrad! Ia sangat terobsesi dengan dongeng itu," ucap Erwin, dengan suaranya yang bergetar karena tertawa. "Ia sangat mencintai ibu sampai-sampai tidak bisa lepas dari peninggalannya."
Erwin mengembuskan asap-asap rokoknya. Ia memejamkan matanya dan mulai mengingat masa-masa kecilnya bersama Rudolf. "Sejak kecil Rudolf sudah membawa-bawa buku itu ke mana pun ia pergi. Terkadang kami membacanya bersama, tapi setelah itu Rudolf membawanya pergi lagi." Erwin tertawa sambil menggelengkan kepalanya
Aku memandangi surat Rudolf. Mulai aku ingat lagi sosoknya. Seperti apa ia sekarang? Kuharap ia benar-benar menemukan kebahagiaannya di sana, bersama Magdalena dan anaknya yang ia beri nama Konrad.
"Setidaknya ia pernah dicintai dan bahagia, 'kan?" ucapku.
"Sampai Marie datang dan mulai mengacau."
"Kau mengetahui itu, Erwin? Sejak lama?"
Erwin mengangguk. Segaris senyum kecut muncul di wajahnya. "Rudolf membuatku iri. Hanya ia yang diberi perhatian oleh Marie. Pada akhirnya aku bersyukur karena tidak berakhir sepertinya." Erwin membuang ludah ke sebelah sepatunya. "Dulu ia sangat sombong dan tidak mau lagi menggagapku adiknya, sampai suatu hari ia pulang sambil menangis. Barulah ia ingat kepadaku. Ia bercerita kepadaku apa yang ia alami dan meminta pertolongan dariku," Erwin menggosokkan ujung rokoknya ke dinding. Rokok itu padam, Erwin melemparnya ke bawah dengan penuh jengkel. "Aku ingin ia berpikir 'hei, apa yang aku harapkan dari bocah enam tahun?' Jadi, aku termenung seolah tidak memahaminya sedikit pun. Sebenarnya aku tahu apa yang ia alami adalah hal buruk."
Mendengar ucapan Erwin, mataku membesar. Itu bukan bercanda, ia sungguh-sungguh dalam hal itu.
"Apakah itu berarti kau tidak peduli dengannya?"
"Itu akibat karena terlena dan lupa segalanya,"
"Jadi, menurutmu Rudolf pantas mendapatkan itu?" Dahiku mengernyit, memandangi Erwin dalam heran. "Ah, Erwin. Kau sama gilanya dengan Marie!" Aku menatapi matanya begitu dalam, penuh tuduhan yang membuatnya tidak terima.
"Apa? Aku tidak berkata begitu!" Erwin terlihat gusar. Ia merasa tidak sudi disandingi dengan Marie. Ia kesal dan mengentakkan kaki di atas rokoknya yang ia buang.
"Ya, kau berkata begitu. Ucapanmu berarti tidak peduli dengannya."
Tiba-tiba Erwin menarik pundakku. Ia mulai berucap di depan wajahku dengan kobaran emosinya. "Kenapa kau bertingkah seolah hanya Rudolf 'lah yang menderita?" Erwin mengangkat pergelangan tangannya untuk mempertunjukkan bekas cambukkan yang mengering. "Kami memiliki penderitaan masing-masing, Heinz! Kau berharap aku mengurusi masalahnya, sedangkan aku tidak bisa menolong diriku sendiri? Kau pikir hidupku candaan?"
Erwin mendorong tubuhku ke dinding. Ia melangkah tidak menentu dengan bertolak pinggang. Aku penuh sesal menatapinya.
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan, Heinz? Kau hanya menonton semuanya dari celah pintu. Kau hanya anak kecil tidak berdaya yang akan bersembunyi di balik tubuh gempal Paulina. Kau tidak akan memahami semuanya!"
Erwin tergesa mengeluarkan sebatang rokok dari kotak kalengnya. Tangannya gemetar akibat kemarahan yang meledak-ledak. Ia mampu mengambilnya satu, sementara kotaknya jatuh dan isinya bertebaran. Melihat itu Erwin semakin geram dan menendang batang-batang rokoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Mystery / ThrillerKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...