Rumahku kosong. Pintunya terkunci dan tidak aku lihat seorang pun di dalamnya. Semuanya gelap, hanya lampu teras yang menyala. Aku terus mencari-cari di mana Konrad sekarang. Aku mendatangi tempat-tempat kesukaannya. Kebanyakan di tempat yang sepi. Sebuah hamparan rumput luas dengan gubuk tua, tempat ia dan Magda menemukan seekor anjing, atau tempat barang-barang bekas dijajakan. Aku tetap tidak menemukannya.
Aku menumpang kepada seorang anak muda, berkata diriku akan pergi ke gerai kopi. Tempat itu jaraknya tidak jauh dari sekolah Konrad. Aku hanya perlu berjalan kaki sedikit, dan aku akan melihatnya lagi di sana.
Pemuda itu bekerja di toko film dan video. Tubuhnya sangat kurus dan tinggi. Ia terlihat lemah ketika mengemudikan mobil. Ia terlihat mengantuk dan kesepian sepanjang hidupnya. Ketika kutanya ia, pemuda itu adalah penduduk di rumah susun. Ia merantau ke kota dan belum bisa kembali ke kampungnya, lantaran upah kerjanya habis terlebih dahulu untuk keperluan sehari-harinya. Ia seperti kesulitan mengatur uangnya, tapi tampangnya itu menimbulkan rasa kasihan.
Ia menurunkanku di tempat yang aku maksud. Dari sakuku keluar beberapa lembar uang dan dua batang rokok. Ia terlihat meragukanku pada awalnya.
“Tidak perlu, Pak.” Ia mengangkat telapak tangannya dan sedikit mengangguk.
Tidak juga aku tarik kembali uang itu. Tetap kuperlihatkan itu padanya. “Tidak apa-apa, ini untuk makan beberapa hari ke depan. Upahmu simpan saja untuk kembali ke kampungmu, dan berikan keluargamu hadiah dengan itu.”
Ia memandangku penuh haru. Pemuda itu mengangguk pada akhirnya. Ia mengeluarkan tangannya lewat jendela, mengambil uang dan dua batang rokok itu. “Anda sangat dermawan, Pak. Anda adalah orang yang sangat terpuji.”
Senyumku turut hadir. Tidak kulepaskan mataku darinya. Ia tetap mengangguk dan membalasku, bahkan hingga mobilnya melaju. Kepalanya keluar dari jendela dan sekali lagi berterima kasih kepadaku. Pandangannya teralihkan, tidak menyadari seorang wanita tua dan anjingnya sedang menyeberangi jalan.
Bunyi nyaring terdengar. Seorang wanita tua dan anjingnya tertabrak oleh pemuda itu. Para pejalan kaki seketika histeris, menoleh dengan tidak percaya. Wanita tua dan anjingnya terkapar lemas di jalan. Ia merintih di sana, sedangkan pemuda itu membanting pintunya dengan panik.
Aku melarikan diri dari histeria, menghampiri gerai dan menunggu jam pulang anak sekolahan. Bahkan di dalam pun situasi tidak baik. Banyak yang berbisik-bisik dan mengintip dari jendela. Barista meninggalkan tempatnya dan berlari ke luar, melihat keramaian di depan sana. Seorang nenek tua terlihat merintih dan anjingnya yang berjenis pomerania kehilangan nyawa karena terlindas.
Aku menunggunya di gerai kopi. Hanya dengan berdiam diri dan memerhatikan beberapa anak muda yang mampir. Mereka suka sekali meminum kopi itu dengan lambat. Kebanyakan waktu digunakan untuk mengobrol dengan kawanannya. Mereka beramai-ramai, mungkin hanya aku yang terlihat kesepian. Mereka memandangiku sebagai orang tua yang menyedihkan.
Hingga jam pulang anak sekolahan tiba, mereka belum beranjak. Masih membicarakan entah apa itu. Sepertinya sesuatu yang sangat heboh, berkaitan dengan gosip panas di kampus. Aku meninggalkan tempat itu, dengan tip yang kuselipkan di bawah cangkir. Barisan anak sekolahan nampak di depan sana. Jalan beriringan dengan ceria, bersepeda atau dijemput oleh orang tuanya.
Aku sedikit berjalan ke depan sana. Akhirnya tiba di seberang gerbang sekolah. Aku berdiri di dekat papan jalanan. Menyaksikan wajah-wajah yang keluar dari sana. Begitu aku nantikan wajah pemurung itu. Ketika mataku bergulir ke sana ke mari, aku baru menyadarinya. Ada seorang gadis yang bersepeda seorang diri. Sepeda tua yang aku kenal, sepeda yang biasa digunakan Konrad.
Aku pernah melihatnya, gadis yang tiba-tiba hadir di rumahku hari itu. Berlari bersama Konrad menuju pintu, mencoba menyelamatkannya dariku. Jika tebakanku tidak salah, Konrad akan hadir sebentar lagi. Dengan tabah aku menunggunya dengan sebatang rokok di jariku.
Anak itu keluar dari gerbang. Berjalan menghampiri si anak perempuan dan sepeda tua. Konrad tidak lagi seperti yang terakhir kulihat. Ia tidak lagi terlihat seperti orang tua yang kolot, rambut klimis yang teratur dan jas longgar. Sebuah jaket pilot menggantikannya, dan rantai saku yang membuatku risi. Celana robek-robek dengan tambalan logo grup lagu berisik dan sepatu yang berat.
Wajahnya lebih terang, ia menyeringai lebar kepada si anak perempuan. Ia duduk di belakang dan anak perempuan itu mulai mengayuh. Ia tertawa geli dan tersengal-sengal, berhenti mengayuh dan menoleh kepada Konrad. Sebuah kekonyolan pemuda, ia mengayuh sepeda dari jok belakang. Membiarkan anak perempuan itu menyetir dengan kikuk.
Mereka semakin menjauh, menuju tempat yang tidak kuketahui. Mustahil mengejarnya dengan berjalan kaki. Konrad mengayuh dengan kencang. Menengadah dan tertawa di udara. Membelah keramaian dan membuat semua orang tertuju padanya.
Ia jelas berubah dari yang terakhir aku jumpai. Ia terlihat lebih ekspresif. Bagaimana ia mengakali kesendiriannya adalah pertanyaan terbesarku. Anak muda yang ceroboh sangat rentan apabila ditinggal sendirian. Aku melihat itu pada dirinya, tiba-tiba berpenampilan tidak teratur. Mungkin jika aku adalah orang tua yang normal, aku akan merasakan fase perlawanan darinya.
Namun, bukan aku yang merasakan itu. Rumah itu kosong. Aku menarik kesimpulan, ia tinggal bersama seseorang lainnya. Bukan rumah penampungan anak-anak. Ia tidak akan menyukai situasi itu. Aku hanya mengarah kepada seseorang, yaitu saudara yang lama tidak aku jumpai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Mystère / ThrillerKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...