Bab 62 | Jejak Rudolf: Jangan Percaya Siapa pun

9 4 0
                                    

“Lihat dirimu.” Kepala sipir menghampiri. “Apa yang kau rencanakan? Apa motifmu?” Berkata di depan hidungku. Tanpa jarak yang berarti.

Kepala terangkat, memandangiku dengan hina. Sebuah kemarahan tersirat dalam wajahnya. Ia akan mengatakan ini sebagai kemerosotan moral. Sebelah mata yang berkedut, dan cara pandang yang tidak bersahabat.

Namun, ketegangan itu hancur kemudian. Dipatahkan begitu saja oleh dirinya sendiri. Ia menyeringai, tergelak. Sampai-sampai air tidak terbendung lagi di matanya.

“Jenaka! Kau sungguh Jenaka!” teriaknya.

“Tenangkan dirimu. Hanya aku yang mengetahui detail itu. Bahkan Schwartz sekali pun tidak mengetahuinya. Mengenai kasus pembunuhan itu, ia hanya tahu Klopp yang melakukan semuanya, tanpa tahu kau terlibat di dalam rencana itu.”

Apa maksud dari semua ini? Bagaimana aku harus bertindak? Yang aku saksikan hanya kepala sipir gila. Mataku mengikutinya. Kepala sipir berjalan mondar-mandir. Menutup jendela dengan tirai kertas.

“Schröder, ketika aku bilang bahwa aku mengingatmu, aku bersungguh-sungguh. Bintang pertelevisian, sangat muda. Oh, kau hanya bocah ingusan waktu itu. Selalu muncul dengan seragam pelaut.”

Wajah yang kaku itu berubah. Mencair. Melemas. Seringai yang mengerikan. Mata gelap yang meneriakkan ancaman. Mimpi buruk lama yang menjijikkan. Aku benci itu, film-film sialan dan kamera.

Aku benci masa lalu yang satu itu. Tidak ada hal menyenangkan ketika seseorang mulai membahasnya. Bayang-bayang yang menyiksa. Tanganku gemetaran. Kupegangi erat-erat celanaku.

“Anak kecil yang manis. Schröder yang tidak bisa melawan. Aku mengingat itu, kau hanya anak kecil yang lucu. Jeritan itu, aku mengingat semuanya. Aku dengar kau melaporkan temanku, Tannenbaum yang dermawan. Ah, bukankah tidak seorang pun mempercayaimu? Kau datang ke sini karena membunuh putrinya, bukankah begitu? Di mana anak kecil yang manis itu?”

Tidak mungkin. Potongan peristiwa terkutuk. Tidak sudi aku mengintipnya lagi. Tidak sudi aku mengingat wajah-wajah itu lagi. Orang-orang menjijikkan yang menyakitiku. Itu membuatku abai, tidak  lagi memikirkannya.

Bagaimana jika orang-orang itu masih ada? Hidup di sekitarku, menghantui, mengancam. Selama ini aku lengah. Aku berpikir aku telah bebas. Namun, tidak berjalan seperti itu. Aku tidak pernah bebas.

“Kau menghilang ketika beranjak dewasa. Orang berpikir bahwa kau tidak lagi seperti dulu. Mereka tidak memujamu lagi.” Mendekat terus mendekat. Berhenti di telingaku dan berbisik. “Aku bisa memberikan semuanya. Keamanan yang tidak didapatkan orang lain. Aku akan melupakan semua yang aku tahu atas keterlibatanmu. Satu hal, Schröder. Aku masih merindukanmu.”

Tidak aku ingat siapa ia, tapi aku tahu ia berperan dalam penghancuran masa kecilku. Berputar-putar di kepalaku sebuah penghinaan. Dan ia membuka mulutnya, mengotori sisi wajahku dengan liur.

Urat-urat yang timbul. Tangan terkepal. Rasanya aku tidak memiliki batas-batas lagi. Sebuah kepalan mendarat kepada pria tua itu. Seketika terhuyung dengan tubuh rentanya.

Ia bukanlah siapa-siapa. Hanya manusia yang tidak lama lagi mati. Tidak berdaya. Tidak bisa melakukan apa pun. Matanya terbuka lebar. Terbaring di antara barisan laci. Menutupi hidungnya yang mengalirkan darah. Ia mengerang. Bersusah payah membangkitkan tubuhnya.

Gagang telepon terputus dari kabelnya. Ia berteriak, segera menghantamkan benda itu kepadaku. Rasa linu menjalar dari siku. Dan ia tidak berhenti dengan tingkahnya. Sebuah tangan renta. Bahkan bergetar untuk pukulan itu.

Berbelok, dan ia mulai merintih. Gerakannya terkunci. Lengannya berada di genggamanku. Membelokkan punggungnya, menariknya tanpa ampun.

Jeritan yang memuakkan, di waktu yang sama merupakan ketersiksaan yang menghibur. Seperti ranting pohon yang tanggal. Terinjak dengan sepatu bocah-bocah yang berlarian. Bunyi retakan yang bersahutan. Musik yang indah untuk telinga. Jeritan yang memuaskan, ketika ranting itu benar-benar patah.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang