Bab 61 | Jejak Rudolf: Ceroboh yang Memalukan

16 5 0
                                    

“Laporanku sudah diterima. Paul sudah dipanggil ke sana. Kau tahu? Ia terlalu keras kepala. Tetapi pada akhirnya ia mengakuinya juga. Pesta itu sengaja dibuat untuk menjebak Martin Schumann,” ujarnya.

Senyuman Erich melebar. Sekarang mengarah kepadaku. Merogoh saku, mengeluarkan suatu benda dari sana. Sebuah rokok ganja, dan ia melemparkannya kepadaku. “Semua adalah berkatmu, Rudolf,” ucapnya lagi.

“Jadi, Tuan yang berjasa,” panggilku kepadanya. “Ini adalah bau kemenangan, bukan? Lihat itu, seorang perwira. Pahlawan. Yang menumpas kebobrokan tempat sialan ini, Erich Schwartz.”

Ia mencintai pujian itu. Menutupi wajahnya dengan tangannya yang pucat. Mengulum senyuman penuh bangga. Ledakan suka cita yang membuatnya terlena. Pujian yang menjadi candu. Ego yang kelaparan itu terus meraung.

“Kemungkinan kita semua akan dikumpulkan, Rudolf. Kau tahu? Kepala sipir suka sekali berpidato.”

“Apa yang akan ia lakukan nanti?”

“Upaya menyelesaikan kekacauan ini. Menumpas moral yang rusak. Memperbaiki lingkungan ini seperti semula.” Ia terdiam sebentar. “Tempat ini memang gila. Maksudku kebencian itu. Namun, ini pertama kali tragedi yang besar terjadi. Kematian sipir, hingga keributan berdarah narapidana. Ketika semua diam--memilih untuk tidak membahas kebencian itu terang-terangan--semua baik-baik saja. Seperti ada sesuatu yang membocorkan itu.”

“Ada kau, Erich. Kau adalah penyelamat itu. Bukankah kau sudah melakukan langkah yang tepat? Kau akan menyelesaikan masalah itu.”

Raut itu lagi. Ego yang terpuaskan. Apakah hanya itu yang penting baginya? Seakan aku melihat Martin pada dirinya. Mereka semua sama. Tabiat seperti itu merebak di mana-mana.

Untuk apa aku peduli? Aku memiliki hal lain yang lebih penting. Ratko berhasil mendapatkan tong-tong bensin itu. Kini sedang dikumpulkan, membaginya dalam bagian yang lebih kecil. Bensinnya tersebar di berapa titik, disembunyikan pada tempat yang menjadi target pembakaran.

Namun, kami belum berkumpul lagi sejak hari itu. Beberapa kali kami berkontak mata, mendekat sebentar dan membahas bensin-bensin itu. Masih memerlukan banyak waktu. Setidaknya masih bisa bersabar sedikit lagi. Sebelum itu, tidak ada yang boleh tertimpa kesialan. Tertangkap karena suatu hal dan hilang entah ke mana, seperti Jonas Eimer. Atau membuat masalah yang memantik keributan.

Di dalam sel, Karl meringkuk di atas ranjangnya. Ia menggenggam sebuah tang. Tidak pernah ia lepaskan. Mungkin sudah menimbulkan panas di gagangnya. Ia mengangkat benda itu, dengan latar langit-langit ia menatapinya.

“Terima kasih, Rudolf.”

“Untuk apa?”

“Semua yang kau lakukan. Mengajakku untuk terlibat dalam hal ini. Aku akan terbebas.” Ia melirik kepadaku. “Dan itu berkatmu.”

Sedikit terlambat, tapi akhirnya ikatan terbentuk di antara kami. Mungkin ia menganggapku sosok pengganti yang baik. Tidak ada lagi Marek dan Otto, hanya ada aku. Jika dibandingkan dengan Marek dan Otto, aku hanya melakukan tindakan kecil. Hanya menyingkirkan kukunya yang mengganggu.

Namun, timbul sebuah hutang budi, kini hanya kepadaku. Entah kenapa Karl melakukannya. Aku tidak pernah berniat mengganti perbannya dulu. Terkadang itu menimbulkan bau. Otto dan Marek lebih berjasa. Namun, akhirnya ia melakukannya sendiri. Dan kini tidak ada lagi perban di kakinya.

Pada akhirnya tiba sebuah panggilan untuk kami. Sipir-sipir berjalan di sepanjang sel. Mengetuk-ngetuk jeruji dengan tongkat besi. Para narapidana seketika terbangun dari ranjangnya. Sebuah seruan. Gemercik kunci terdengar nyaring. Gesekan engsel jeruji seakan bersahut-sahutan.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang