Verbinsky berada di jarak yang tidak jauh ketika aku menyadari rantai sepedaku lepas. Aku tidak tahu pasti siapa pelakunya, tapi aku tidak pernah berhenti untuk mencurigai bocah itu. Aku tidak lagi mengayuh sepedaku, kini aku menuntunnya, hingga aku sampai di rumah, melepas sepatu dan membuka pintu. Itu bertepatan dengan The Second Waltz yang baru saja diputar di radio.
Tidak jauh dari sana, aku melihat Lutz berdiri dengan mata terpejam dan begitu menghayati apa yang ia dengar. Lutz bahkan menari dan berputar-putar di ruang tengah tanpa menyadari tibanya sang pemilik rumah. Lutz mendadak berhenti ketika ia membuka matanya dan melihat wajahku, kemudian ia menyeringai dan kembali melanjutkan tarian anehnya.
"Penampilanmu terlihat buruk, Konrad." ujarnya.
Ia bahkan tidak berhenti untuk sekedar turut prihatin terhadap kondisiku. Kemejaku tidak lagi berwarna putih, celanaku dibasahi air dari tepi jalan dekat sekolah. Sekali lagi aku teringat kepada apa yang terjadi sebelumnya.
Aku melangkahkan kakiku menghampiri Verbinsky dan mendaratkan pukulan di wajahnya. Aku tidak tinggal diam melihat apa yang ia lakukan, dan seketika aku merasa hebat begitu aku meninggalkan sakit di wajahnya.
Namun, siapa sangka pukulan itu tidak ada artinya. Ah, seharusnya sejak awal aku tidak perlu melakukan itu. Verbinsky menendang betisku. Dengan cepat aku mendekap kakiku dan menjerit hingga beberapa orang berhenti untuk sekedar menonton penderitaanku. Aku pun tersungkur di atas genangan air jalanan.
Lihatlah diriku yang payah! Aku membiarkan mereka menyaksikannya. Lutz benar, aku menyedihkan.
"Di mana dirimu ketika aku memanggilmu untuk mendapatkan bantuan?"
Lutz belum sekalipun berhenti, bahkan matanya terpejam selama ia menertawai penampilanku.
"Itu dendam milikmu, Konrad. Maka tanganmu sendiri yang harus terbasahi oleh darahnya."
Aku menghela napas menumpuk rasa jengkel dan amarah jauh di dalam diriku. Lutz menari di atas penderitaanku sebagai bocah malang yang baru saja jatuh dari tingginya rasa percaya diri.
"Lupakan dan menarilah. Shostakovich menggubah keindahan ini bukan untuk yang bermuram durja."
Lutz menarik tanganku dan membesarkan volume radio di atas meja. Aku terdiam memerhatikan Lutz yang seakan tidak pernah ditelan oleh kesedihan dan rasa malu. Lutz menyuruhku untuk memejamkan mata dan melupakan segalanya untuk sementara waktu. Aku mulai mengeluarkan tangan dari saku celanaku. Perlahan jariku bergerak mengikuti alunan yang kudengar, begitu juga dengan kaki, dan mataku yang mulai terpejam.
Secara perlahan aku melupakan segala sesuatu yang begitu mengganjal, hingga pada akhirnya aku benar-benar lupa. Jiwaku hanyut, aku memperagakan tarian yang sama sekali tidak menunjukkan kesan indah ketika disaksikan. Tubuhku terombang-ambing, dahiku mengernyit, aku benar-benar terlihat tidak waras.
Siapa yang peduli? Mungkin lantai harus menerima kotor air jalanan yang menetes dari ujung-ujung bajuku. Mungkin ibu akan marah, tapi aku akan simpan itu untuk nanti.
Aku menginjak sesuatu setelah aku mendarat dari lompatan. Kakiku memijak pada sesuatu yang hangat, tapi sangat empuk seperti bantal. Ada suara retakan, tapi aku tidak peduli dan enggan membuka mataku. Aku bergerak lagi ke arah yang sama, dan sekali lagi memijak benda yang sama. Aku tidak peduli bahkan jika itu kotoran sapi. Pikirku, aku sedang menari, jangan ganggu aku.
Musik yang sama masih melantun. Aku tidak akan berhenti sampai itu selesai. Namun, aku harus sedikit berhati-hati. Aku merasakan basah di lantai. Kurasa, aku mengacaukan lantai ruang tengah karena aku meninggalkan jejak becek di lantai.
Di pertengahan musik, aku mendengar suara seseorang yang sedang menarik napasnya dalam-dalam. Sontak mataku terbuka untuk sekedar memeriksa desah napas yang tidak asing lagi di telingaku. Itu ibu, ia berdiri di seberang mataku. Rambutnya terlihat begitu berantakan, matanya masih menunjukkan rasa kantuk yang tidak terbendung. Mungkin aku membangunkannya karena suara radio terlalu keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Mystery / ThrillerKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...