Bab 9 | Kekejian

59 13 0
                                    

Dua hari berlalu sejak kematian Bondi. Sampai detik ini ibu belum lagi berbicara kepadaku. Ibu tetap membuatkanku sarapan pagi dan kue ketika aku pulang dari sekolah, tapi ia tidak menyapa bahkan mengobrol ringan bersamaku sejak kejadian itu. Aku tahu ini terasa berat untuk ibu yang selalu ditemani Bondi ketika sendirian di rumah, sementara ayah disebut bodoh, dan aku disebut keji.

Ucapan ibu hari itu masih terngiang di kepalaku. Jarang ada yang bisa mengerti bagaimana rasanya disebut keji oleh ibu sendiri. Namun, aku tidak bisa berlama-lama jengkel dengan ibuku. Aku tahu ini adalah kebodohanku. Semua orang akan berlaku sama menghadapi remaja tanggung yang bertindak sesuka hati.

Aku duduk di teras rumah untuk memerhatikan ibu di taman bunganya. Ia terlihat abai terhadapku, bahkan ketika aku mencoba untuk menarik perhatiannya. Semua terasa sia-sia. Ibu hanya terdiam, tidak berbicara barang sepatah kata.

Ibu berjalan melaluiku begitu saja. Tidak lama setelahnya, aku mendengar derap langkah berat dari balik punggungku. Ayah tiba-tiba datang dan duduk tepat di sebelahku. Pada awalnya, ayah hanya menanyakan bagaimana kabarku, lalu ayah memancingku untuk membahas buku-buku yang dulu dibelikan olehnya.

Aku sedang malas membahasnya. Aku tahu tujuan ayah bukan hanya sekedar mengajakku mengobrol ringan. Ayah tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Aku tahu apa maksud ayah mengajakku mengobrol hari ini. Tentu saja ayah membuatku teringat tentang kekejian yang terjadi beberapa hari sebelumnya.

"Tidak perlu diperlambat, aku tahu apa yang ingin kau ketahui."

Ayah berhenti membahas buku-buku dongeng. Kini mulutnya mengatup. Ayah mengembuskan napas beratnya.

"Kau membunuh Bondi?"

"Aku menginjaknya."

Aku sudah siap jika nanti ayah akan bertanya lebih banyak lagi kepadaku, tapi ia tidak melakukannya. Kupikir, ia akan sama kecewanya seperti ibu. Ayah bahkan tidak menunjukkan ekspresi terkejut sama sekali. Kami terdiam cukup lama. Samar-samar deru angin bernyanyi di telingaku. Embusan lembut itu bercampur dengan asap rokok ayah yang meliuk-liuk seperti seorang penari.

"Kau menginjak anjing itu berulang kali dengan sepatumu, dan kau dalam keadaan sadar. Apa yang membuatmu melakukan itu?"

Benar dugaanku, ayah membahas peristiwa itu. Aku merasa malu akan kekejianku. Membahasnya adalah mimpi buruk, seakan diriku dipenuhi penyesalan yang telah menumpuk sejak lama. Perasaan yang rumit. Aku dipenuhi takut. Tanganku tidak berhenti bergetar, lidahku kaku, tidak mampu menjawab ayah sedikit pun.

Aku dengan segala pelik di kepalaku, berusaha mengalihkan pertanyaan ayah. "Kau pulang? Kau masih ingat rumah ini?" ucapku.

Ayah melirikku dari sana. Terasa suram dan tidak bersahabat. Ia memandangiku cukup lama, seakan ia tahu segalanya, bahwa aku berusaha lari dari masalahku dan bersikap tidak berdosa.

Ayah mengembuskan asapnya lagi. Kemudian rokoknya memunculkan nyala oranye di antara bibirnya. "Itu tidak mempan kepadaku, Konrad," ucapnya.

Aku mengusap kerah bajuku yang mulai lembap oleh keringat. Perbincangan ini tidak bisa aku hindari lagi. Aku tertunduk dengan lesu, memandangi kedua kakiku sebagai perenggut nyawa.

"Pernahkah kau melihat sesuatu yang aneh, ayah?"

"Seperti apa?"

Aku terdiam sesaat dan memejamkan mataku. Aku mengingatnya lagi, tentang apa yang aku saksikan belakangan ini.

"Aku melihat seseorang. Ia terkapar di atas tanah. Ia bermandikan darah dan kepalanya sudah terburai," ucapku. Kemudian aku berdiri dan memijak sebuah batu. "Aku berada di atasnya. Kakiku menginjaknya seperti aku menginjak batu ini."

Mataku tidak berkedip. Apa yang aku saksikan adalah batu yang berubah perlahan menjadi seonggok kepala. Bayang-bayang itu mulai merambah ke realita. "Aku tahu ia tidak lagi berdaya. Tubuhnya sudah kejang-kejang. Aku tidak mengampuninya. Aku menginjaknya lagi dan lagi."

Ayah ternganga. Ia mulai mengabaikan rokoknya. Ia memerhatikanku dengan keterkejutannya. Aku menginjak batu itu berulang kali. Dengan segala amarah dan kebencian terhadap sesuatu yang bahkan tidak aku mengerti.

"Aku dipenuhi keji, nafsu membelai tubuhku dengan mesra! Ah, lihat, aku membunuhnya! Aku dipenuhi gairah yang membara!"

Suaraku menggelegar, disambut oleh burung-burung yang kabur dari pepohonan. Seketika hening menyapa. Aku membalik tubuhku dan berjalan mendekati ayah. Aku mengangkat kedua tanganku dan memandanginya.

"Aku seorang pembunuh. Aku merenggut banyak nyawa tidak berdosa. Apakah aku akan diampuni, Ayah?"

Ayah terdiam. Terbelalak, ia keheranan dengan tindakanku. "Apa? Aku tidak memahamimu," bisik ayah. Ia telah mengabaikan rokoknya dan membiarkannya jatuh dari selipan jarinya.

Aku terduduk di tanah, tepat menghadap ayah yang mematung. "Apakah kau percaya dengan yang tidak terlihat? Apakah kau percaya dengan hal-hal di luar akal sehat?" tanyaku. Lagi-lagi ayah tidak menjawab. Ia masih dengan mulutnya yang ternganga.

"Aku memimpikan peperangan. Senjata api, langit abu-abu, dan kematian. Kehidupan seseorang yang terkikis moralnya, dan seseorang yang merindukan tempat untuk pulang. Setelah terbangun, aku langsung didatangi tentaranya. Di kamarku, ia berdiri dengan saat-saat terakhirnya meregang nyawa," aku menggulirkan mata ke ayah. "Apakah kau percaya, Ayah?" tanyaku.

Kami terdiam, beradu tatap, perlahan kami jatuh ke jurang yang mencekam. Sepi berteriak dengan lantang. Ketegangan berlangsung cukup lama, hingga akhirnya ayah menyeringai dan tergelak setelahnya.

"Jadi, kau menganggap tentara itu merasukimu? Membuatmu melihat kekejamannya dan memperlakukan anjing kecil itu seperti musuh-musuhnya?" Ayah menggelengkan kepalanya berulang kali, menganggap ucapanku adalah kelakar.

"Ah, Konrad. Sejak dulu tidak satu pun dari kami yang memahamimu."

Ayah beranjak dari duduknya. Ia mulai berjalan menjauhiku, menyisir rerumputan di halaman dengan kedua kakinya. Sungguh? Ia pergi setelah semua yang aku katakan? Bahkan ia tidak sedih melihat anaknya yang berubah gila.

Ia berbisik di sana, sambil mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. "Perlahan kau berubah keji. Sebentar lagi kita tidak akan ada bedanya, Konrad."

Ayah sampai pada mobil yang ia parkir di halaman rumah. Ia memasukinya dan mulai menyalakan mesinnya. Ayah pergi lagi, tanpa meninggalkan kesan apa pun pada diriku. Entah ke tanah mana ia akan mengotori sepatunya lagi. Ia abai, bahkan setelah apa yang aku lakukan. Ayahku itu benar-benar melupakan kami. Kini ia pergi. Aku tidak tahu kapan ia akan kembali lagi.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang