Bab 46 | Dari Heinz: Neraka

24 9 0
                                    

Waktu terus berjalan, hingga pada akhirnya kami semakin dewasa. Rudolf telah menginjak usia dua puluh dua. Semakin tua usianya, Rudolf semakin jarang dibawa lagi oleh Marie. Namun, kini Rudolf semakin sering meninggalkan rumah seorang diri. Ia akan kembali malam hari dengan sempoyongan dan bau yang menyeruak dari mulutnya.

Brak!

Tubuhku tersentak, jantungku berdetak lebih cepat setelah mendengar suara itu. Aku segera beranjak dari kamarku dan menuruni tangga. Di bawah kegelapan malam, aku melihat Rudolf di sana. Ia tergeletak di pintu rumah kami.

“Apa yang terjadi denganmu, Rudolf?” Aku mengangkat kepalanya ke pangkuanku. Perlahan matanya terbuka, menampakkan warna merah yang menyala. “Aku tidak mampu berjalan lagi,” bisiknya. Ia mengangkat lengan dan melingkarkannya di leherku. “Bantu aku,” bisiknya lagi.

Rudolf menyulitkanku. Tubuhnya sangat berat. Langkahku tertatih menggeretnya ke dalam rumah. Kedua kaki Rudolf sama sekali tidak bergerak. Tubuhnya seperti boneka, kosong dan lunglai tidak berdaya.

“Tangga! Ya, tangga! Maksudmu, aku harus membopong tubuhmu ke atas, ‘kan?” aku tergelak, memandangi tangga yang kini terlihat menjengkelkan.

Rudolf tidak sedikit pun berusaha dengan tubuhnya, ia hanya diam saja sementara aku membopong tubuhnya. Napasku terengah-engah, kedua lututku sungguh lemas. Begitu sampai di atas, aku tersungkur. Rudolf terjatuh lebih dulu, diikuti dengan wajahku yang mendarat di atas pundaknya. Bau pakaiannya terendus, bau asap rokok langsung menguar.

Aku meraih tangan Rudolf yang terkapar lemas di tangga. Segera menariknya hingga tubuhnya ikut menyeret debu-debu di lantai. Aku tidak memiliki tenaga lagi untuk mengangkatnya. Apa yang bisa aku lakukan dengan tubuh ringkihku?

Aku bernapas lega ketika telah sampai di depan kamarnya. Segera aku buka pintunya dan melempar tubuh Rudolf ke dalamnya. Punggungnya menghantam lantai, ia meringis nyeri. Rudolf terbangun dan memperbaiki posisi tubuhnya. Ia  merangkak menghampiri dinding dan menyandarinya.

“Kau mabuk lagi.” Aku bertolak pinggang di hadapan Rudolf.

Ia tidak mengindahkannya, ia mengangkat tangannya dan menunjuk-nunjuk pintu, mengisyaratkanku untuk menutupnya. Aku dengan gusar mematuhi perintahnya, setelah itu aku kembali bertolak pinggang di hadapannya. “Kau mabuk lagi,” ucapku lagi, tidak membiarkannya teralih.

“Lihatlah dirimu, Rudolf. Kau berubah, tidak seperti dulu lagi.” Aku menghampiri Rudolf, memandanginya yang terjebak dalam kondisi menyedihkan. “Kenikmatan yang fana itu sudah mengikis masa hidupmu,” ujarku.

Gigi Rudolf terekspos, mendengar ucapanku ia terpingkal-pingkal. “Jika yang kau maksud adalah ‘kehidupan yang dirampas’ aku sudah merasakannya sejak lama.” Berhenti, ia cegukan. “Aku suka diriku yang sekarang. Ah, akhirnya kebebasan berpihak kepadaku,” ujarnya.

Aku mengernyitkan dahiku. “Apa maksudmu? Kebebasan? Lihat dirimu, kau kembali dengan bau alkohol dan asap rokok, bahkan kau tidak mampu berjalan. Lihat wajahmu, kau memucat, matamu cekung dan dikelilingi lingkaran gelap. Kau terlihat sakit. Itu yang kau sebut kebebasan?”

Tangan Rudolf melaju ke arahku. Di tariknya kerah bajuku hingga terdengar bunyi benang-benang yang terlepas. “Ya, ini kebebasan. Menurutmu, kenapa Marie tidak pernah membawaku lagi?” tanya Rudolf. “Karena aku bukan lagi anak kecil yang tidak berdosa. Karena aku tidak lagi murni dan bersih. Wajahku semakin tua, bahkan melampaui umurku yang sesungguhnya.” Rudolf melepas cengkeramannya. Tubuhku terombang-ambing dibuatnya.

Rudolf tertunduk. Helai-helai rambut menutupi wajahnya yang berubah sendu. Kemudian ia mengangkat kepalanya memandangi langit-langit.

“Semua dimulai sejak kematian ibu. Ia mati karena mengalami pendarahan hebat setelah melahirkanmu, Heinz. Sejak itu ayah berubah menjadi pecandu alkohol. Ia menjadi pendiam dan tidak memedulikan kami lagi. Di saat-saat terpuruknya, Marie--seorang penyanyi di bar kecil--mulai mendekati ayah. Perlahan-lahan Marie berhasil menarik hati ayah dan mengantarkannya menuju dunia di mana namanya melambung tinggi,” ucapnya.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang