Bab 38 | Pertarungan Jalanan

13 6 0
                                    

Aku menghampirinya. Sesekali orang itu melirikku dan kini matanya kembali memandangi barisan pohon. Ia bersandar di pagar-pagar dalam ketegangan yang berlangsung sejak kemarin. Aku turut menyandari pagar itu. Ia tidak kunjung bicara. Entah ia tengah menimbang-nimbang apa. Ketika menunggunya, aku kembali kepada kotak sigaretku. Aku membakarnya, dan Markus memerhatikanku dari ekor matanya. Aku membuka kotaknya lagi dan menyodorkan itu kepadanya. Markus melihatnya cukup lama. "Pria itu juga selalu membawa rokok di sakunya. Biasanya ia duduk di teras dan baca koran. Rokok itu tidak pernah absen di selipan jemarinya," ucapnya.

Ia terdiam. Markus melepaskan topinya. Dengan alasan yang tidak kumengerti ia mulai memutar-mutar topi itu. Ia sibuk sekali. Ia membiarkan suasana aneh hadir di antara dua orang yang saling terdiam. Namun di tengah kegiatannya, matanya kian menajam menatapi seberang jalan. Ia terlihat memikirkan banyak hal dalam benaknya. "Ia datang sejak lama sekali, bahkan aku tidak ingat kapan tepatnya. Pria itu hadir ketika aku begitu mendambakan sosok Ayahku. Pada awalnya ia sangat asing di mataku. Ia datang untuk menemui Ibuku hampir setiap hari. Ia membawa makanan dan terkadang kue-kue manis untukku. Dengan itu ia berusaha untuk mendekatiku. Kau tahu? Aku tidak pernah membayangkan jika pria itu merupakan ayah seorang anak lainnya. Yang aku tahu waktu itu, ia membuatku merasakan kasih sayang dari seorang ayah."

"Ke mana perginya ayahmu, Markus?" tanyaku. Kedua pundak anak itu sedikit terangkat. Ia terdiam sesaat dan membiarkan topinya terjatuh. "Mati," ucapnya pelan. Ia pun tertunduk untuk memungut topinya. "Ayahku sudah tidak ada sejak lama. Bahkan aku tidak memiliki kesempatan untuk mengenalnya. Ingatanku tentangnya terlalu sedikit. Jika saja aku tidak melihat fotonya, aku tidak akan tahu bagaimana rupanya."

"Sejak kapan kau mengetahui faktanya?" tanyaku. Markus sempat termenung. Ia menoleh kepadaku dan mengangkat jari telunjuknya. Tangannya melayang di hadapanku, bergerak dengan tenang membentuk fitur-fitur wajah dalam garis bayangan. "Sejak kau pertama kali mengantarku pulang, aku selalu berpikir wajahmu sungguh tidak asing," ujarnya. Markus tekun dalam penggambaran angan-angannya tentang wajahku. Telunjuknya berhenti tepat di depan mataku, ia terdiam di sana. "Kedua mata itu selalu menatap dengan cara yang sama. Ada amarah dan kesedihan yang bersembunyi di sana. Namun, aku harus melihat lebih dalam lagi untuk membacanya," Markus pada akhirnya menurunkan tangannya. Ia memasukkannya ke dalam saku. "Kalian berdua sangat mirip. Aku selalu mencari-cari di mana aku pernah melihat wajah yang serupa denganmu," Markus tergelak. "Ah, ternyata ia adalah lelaki yang sering mengunjungi kami!"

"Ketika mengetahui itu, aku sungguh tidak percaya. Aku hanya berpikir kalian adalah dua wajah yang kebetulan dibuat sama. Kalian hanya mirip, itu pikirku. Aku bersusah payah menolak pemikiran-pemikiran itu. Namun, tetap saja aku tidak bisa. Waktu terus berlalu dan aku semakin melihat dirimu pada lelaki itu. Seakan-akan kalian adalah dua orang yang sama. Cara menatap, gestur, cara berbicara. Dari sisi manapun sangat mirip. Pada akhirnya aku tahu orang yang menyebut dirinya sebagai kekasih Ibuku itu memiliki nama belakang yang sama denganmu. Schröder. Aku semakin penasaran. Kemungkinan besar ia ada hubungannya denganmu. Kau tahu apa yang aku lakukan selanjutnya?" ucap Markus.

"Aku mengikuti lelaki itu. Ia juga singgah di rumahmu. Sesekali aku melihatnya mengobrol denganmu. Sikapnya sangat berbeda. Ia menjadi sangat kaku, begitu juga denganmu. Ada ketegangan yang tidak dapat kumengerti. Pencarianku berlanjut. Ketika kudengar kau mengalami kemalangan, dan kau mendapati tikaman di perutmu oleh seorang pria tua, aku mengunjungimu berulang kali. Kau selalu di sana dalam keadaan tidak sadarkan diri. Pada hari terakhir aku mengunjungimu, aku berpapasan dengan lelaki itu di lorong rumah sakit. Wajahnya berlipat-lipat, ia terlihat marah. Langkahnya terhenti ketika ia melihatku. Rasa penasaranku terpancing. Ada banyak orang yang memasuki rumah sakit, tetapi pikiranku mengarah kepadamu. Seorang Schröder dan lelaki yang juga singgah di rumahnya. Lantas aku bertanya kepadanya, siapa yang ia kunjungi? Ia hanya tersenyum, tidak menjawab. Aku memaksanya untuk mengakui itu, setidaknya jelaskan padaku. 'Aku berteman dengannya, kau mengunjungi Konrad Schröder, bukan?' kataku. Ia masih terdiam, tapi kini senyumnya hilang. Ia mulai menatapku dengan amarah. Ia enggan bicara kepadaku. Ia terus berjalan dan mengabaikanku. Jadi, aku mengejarnya."

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang