Bab 31 | Badai

25 8 0
                                    

Aku bisa melihat ibu dari lorong. Ia begitu sibuk di dapur jauh sebelum aku terbangun. Pagi ini aku terduduk di hadapan meja makan dengan segelas kopi. Kutemani Ibu yang hingga detik ini tidak berkata-kata. Ia sibuk dengan pisau dan sayurannya. Kemudian dari halaman rumah suara bel sepeda terdengar. Koran pagi telah tiba, benda itu mendarat di depan pintu rumahku. Aku keluar sebentar untuknya dan kembali lagi ke meja makan.

"Kau pergi ke sekolah hari ini?" tanya Lutz. Ia duduk di hadapanku. Ia bersiul-siul di sana sambil memerhatikan kegiatanku di seberang matanya. Aku hanya mengangguk, dan itu berarti jelas untuknya. "Kukira kau akan lari," Lutz tergelak. Aku menatapnya dan menggelengkan kepalaku. Tanganku meraih cangkir kopi. Itu mengeluarkan hawa panas yang seakan menabrak wajahku. Aku membubuhkan tiupan di atasnya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Setelahnya aku menyadari suara talenan dan pisau yang menghilang. Aku melirik ke sana dan tidak kutemukan ibu. Wanita itu menghilang entah sejak kapan, dan kupikir Lutz juga baru menyadarinya. Aku menatap Lutz dengan kerutan di dahiku. Ia menggelengkan kepala dan ikut menengok setiap sudut.

Sampai waktunya ketika ia terdiam, Lutz menunjuk ke arah kegelapan. Ibu berdiri di tengah lorong seorang diri. Wajah ibu suram. Rambutnya berantakan dan hampir menutupi seluruh wajahnya. Baju putih selututnya bergoyang-goyang mengikuti langkahnya. Ketika ia tiba di hadapanku, ia mencengkram dan mengangkat wajahku. Mataku terbelalak menyaksikan rautnya yang dingin dan kaku. "Ibu?" panggilku. Ia tidak kunjung menjawab.

Aku menerka-nerka apa yang sedang ada di benak ibu. Kebencian yang berdasar pada nama seseorang? Aku bukanlah sosok Rudolf yang ia benci. Aku melihat matanya, bahkan dengan itu ia menikamku tanpa ampun. Itu adalah sorot mata yang sangat menusuk. Jemarinya menjalar ke puncak kepalaku. Ia meraba rambutku dan menurunkannya ke dahi. Surai-surai itu menutupi pandanganku. Melalui celah-celah itu aku melihat wajahnya yang perlahan melunak. Ibu tersenyum tipis. "Ini dia. Ini baru Konrad," ucapnya.

Tangannya turun dan membelai wajahku dengan lembut. Ia mengangkat daguku dan menatapku lamat-lamat. "Kenapa kau meniru penampilannya?" tanya ibu. Aku pun menggeleng, apa yang kulakukan tidak bermaksud meniru siapapun. Ibu seakan tidak terima meskipun itu hanya detail sepele. Ia tidak mau melihat sosok itu di dalam diriku. Ibu membungkukkan badannya dan mengecup dahiku. "Berjanjilah kau tidak akan menjadi sepertinya," bisik Ibu. Ia kembali memotong-motong sayurannya. Sementara itu, aku dan Lutz saling tatap dalam diam. Kami keheranan. Perasaan aneh ini tidak bisa kami jelaskan. Ketidaktahuan kami atas dasar sikap Ibu membuat perasaan ngeri membisiki telinga kami.

"Konrad," panggil Ibu. Ia kembali meletakkan pisaunya. Tiba-tiba ia tertunduk lesu dan bernaung di bawah cahaya temaram. "Kalau aku mati, apa yang akan kau rasakan?" tanya Ibu. Mulutku ternganga. Kulihat di sana seseorang dengan kulit pucatnya, berjiwa rapuh dan dengan pasrah menanyakan kisah setelah kematiannya. Aku sempat terdiam dalam waktu yang lama sebelum kuputuskan bahwa kesedihan yang akan mendatangiku. "Akan ada air mata," ucapku. Ia bertatapan kosong. Kedua matanya tidak berhenti memandang ke arah pijakannya. "Lalu apakah kau akan datang ke pemakamanku?" tanyanya lagi. "Ya," jawabku.

"Hei, Konrad," wanita itu menengadahkan kepalanya. Perlahan ia berlutut dan mulai merangkak menghampiriku. Begitu melihatnya sampai di hadapanku, aku turun dari kursi. Aku terduduk di lantai dan segera memegangi pundaknya. Kurasakan dari jemariku kulitnya yang dingin. Tubuhnya bergetar pelan seakan diselimuti oleh udara yang membeku. "Ibu, kau sakit?" tanyaku. Ia menggeleng. Perlahan air matanya berlinang dan membasahi wajahnya. "Kenapa kau masih memperlakukanku dengan baik?" ucap ibu dengan gemetar.

Mendapati pertanyaan itu, aku terdiam. Sebuah jawaban yang tidak bisa kutafsirkan dengan kata-kata. Lidahku kelu hanya untuk menjawabnya. Aku terbata, mengatakan bahwa aku juga tidak tahu. Ibu semakin terisak, matanya dipenuhi air yang menggenang. Memandangiku membuat butiran air itu pecah dan berlinang. "Jawab aku, kenapa kau masih memperlakukanku dengan baik?" Ibu mengguncang lenganku. "Tidakkah kau membenciku?" nada bicaranya pun meninggi. Perlahan aku menggelengkan kepalaku. "Karena kau Ibuku," jawabku. Wanita itu melepaskan genggamannya dari lenganku. Ia tertunduk, mengelap air mata itu dari wajahnya. "Maafkan aku, aku bukan ibu yang baik. Aku menyesali perbuatanku. Semuanya, semua yang kulakukan kepadamu. Maaf, kehadiranku hanya menghancurkan hidupmu," bisiknya parau.

Ia menangis tersedu, sementara itu tidak banyak yang bisa kulakukan. Ia terus memanggil namaku seakan aku tidak ada di hadapannya, seakan ia terus mencariku. Dahiku mengernyit. Suatu perasaan meledak di dalam diriku, ketika kulihat seseorang penyayang yang telah berubah menjadi kepingan air mata. Dalam sekejap aku melintasi lorong waktu, menuju ingatan yang terekam oleh kedua mataku di umur yang sangat muda. Senyuman Ibu hampir tidak pernah pudar. Dulu aku mengenalnya sebagai sosok periang. Wajahnya cerah berseri, suaranya lembut dan kehadirannya selalu kurindukan. Aku ingat pelukan hangat yang ia berikan kepadaku ketika aku tiba di rumah dalam keadaan basah dan kedinginan. Hujan hari itu mengantarkanku ke selimut hangat, dekapan Ibu, dan nyanyian pengantar tidur.

Aku merindukannya. Aku merindukan waktu-waktu itu, ketika Ibu bukanlah sosok yang kukenal sekarang. Ketika Ibu belum berwajah suram dan bertatapan kosong. Aku ingin mendengar lagi nyanyiannya, tapi yang kudengar sekarang adalah isak tangisnya. Kesepian telah menghancurkannya. Entahlah, aku tidak bisa membencinya. Ingatan tentang kebaikannya selalu berputar di kepalaku ketika ia memperlakukanku dengan buruk, ketika ia memukulku, atau ketika ia membenciku karena aku mirip Ayah. Aku tahu, jauh di dalam sana masih ada sisa-sisa dirinya yang dulu.

"Ibu, bangunlah. Kau kedinginan," ucapku. Ia mengangkat wajahnya dan memandangiku. Aku merangkulnya, ia mengikuti langkahku menuju kamar. Ia terduduk di atas kasurnya dan bersandar. Ibu masih terisak dan mengelap air matanya. "Mau kubuatkan teh?" tanyaku. Ibu tidak menjawab. Ia terdiam memandangi kedua kakinya. Aku membentangkan selimut dan menutupi tubuhnya dengan itu. Ia terpejam dan mengembuskan napas panjangnya. "Konrad," panggilnya. Aku menoleh. Ia menepuk-nepuk tempat kosong di sisinya. Aku terduduk dan menunggunya untuk mengatakan yang dia inginkan. "Maaf," sekali lagi ia mengatakannya. Tangisnya yang sempat mereda sekarang pecah lagi.

"Tidak apa-apa, Bu," ucapku. Aku merangkul pundaknya dan mengeratkan dekapanku. Hujan badai telah menerpa Ibuku. Aku akan mengulang masa laluku. Seperti yang ia berikan kepadaku dulu, kehangatan setelah hujan yang selalu dirindukan. "Aku tahu tentang wanita itu," ucap Ibu tiba-tiba. Perkataannya membuatku terkesiap. "Siapa?" tanyaku, meskipun aku tahu betul siapa yang ia maksud. "Orang yang dipilih Rudolf," bisik Ibu dengan lirih. "Dulu aku tidak pernah menyangka ia akan meninggalkanku. Rudolf sangat menawan. Ia tidak pernah mengeluhkan perjodohan itu kepadaku. Ia menerimanya begitu saja. Kupikir ia benar-benar merasakan perasaan yang sama denganku. Aku sangat mencintainya," ucap Ibu dalam mata terpejamnya.

"Melahirkanmu adalah hadiah terbesar dalam hidupku. Apalagi melihatmu sangat mirip dengan orang yang kucintai. Kau selalu membuatku tersenyum. Kau sangat menawan seperti dirinya. Aku tidak pernah mengira rasa itu akan berubah menjadi rasa muak, dan kebencian. Namun, Konrad. Kau tidak salah. Kau lahir tanpa mengerti apa-apa, bahkan kau tidak tahu kenapa kami saling membenci pada akhirnya," jelasnya lagi. "Tapi, sekarang kau telah mengetahuinya, kan?" Ibu menatapku dengan sendu. Perlahan aku mengangguk. "Aku tahu," jawabku.

Ibu bersandar di pundakku. Sekali lagi ia membawa gambaran pemakaman ke rumah kami. Mendengarnya membuat perasaanku tercabik. Sekarang aku tahu, ini adalah kesedihan. Rasa yang sesungguhnya tidak ingin kurasakan. Aku tidak ingin hal itu mendatangi kediaman kami yang sunyi. "Jika aku mati, kuharap aku telah meninggalkan kesan baik kepadamu," bisik Ibu. Jemariku erat meremas selimut itu. Gigiku beradu dan kedua mataku terasa panas. "Berhentilah berkata seperti itu. Tidak akan ada yang mati. Kau akan baik-baik saja. Aku akan selalu menjagamu," ucapku. Ibu sempat terdiam sesaat. Dalam jedanya berulang kali ia bergumam. Semakin lama aku dapat mendengar untaian kata yang ia ucapkan. "Maafkan aku," katanya. Kini panas menjalar ke tenggorokanku, dan turun ke dalam dadaku.

"Sudah kubilang berhenti. Berhenti meminta maaf kepadaku. Aku tidak peduli apa yang telah kau lakukan kepadaku. Aku tetap menyayangimu," ucapku. Ibu terdiam, ia mengangkat kepalanya. Hal yang kurindukan mulai terlihat lagi. Perlahan mulutnya bergerak untuk sebuah senyuman. Terasa hangat dan tulus. Kuharap dengan itu ia telah berdamai dengan hidupnya. Aku tidak ingin ia merasakan perasaan bersalah itu lagi. Aku tidak ingin ia merasa kesepian lagi. Aku ingin Ibu tahu aku selalu ada untuknya, dan aku tidak akan pernah meninggalkannya. Aku bersandar kepadanya, dan Ibu memelukku dengan erat. Memori itu terulang lagi. Tidak ada yang lebih membuatku bahagia. Mataku terpejam, sementara senandung lagu pengantar tidur itu terdengar lagi darinya.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang