Bab 42 | Dari Heinz: Jeritan

20 8 0
                                    

Rudolf duduk meringkuk. Di pojok kamarnya, ia memeluk buku dongengnya erat-erat. Ia membuka lembarannya. Rudolf sampai pada halaman dongeng kesukaannya. Kakakku itu langsung memejamkan matanya. Bibirnya mengerucut. Tiba-tiba ia menciumi buku dongengnya berulang kali.

Aku terkejut dari balik pintu menyaksikan seseorang yang menciumi benda mati. Perasaan aneh dan bertanya-tanya menyerangku. Itu pertama kalinya aku melihat tindakan seperti itu. Aku langsung memasuki kamarnya dan berdiri dari kejauhan. Rudolf menyambut kedatanganku. Ia tersenyum.

"Kenapa kau melakukan itu?" tanyaku. Rudolf tetap saja tersenyum, tidak merasa risih dengan tatapanku yang menghakiminya sebagai sosok aneh. "Aku menyukai ini," jelasnya singkat. "Kenapa kau menyukai itu? Itu hanya buku. Apakah itu seperti boneka bagimu?" tanyaku, masih dalam raut keheranan. "Ya, seperti boneka," Rudolf memandangi bukunya.

"Boneka adalah benda mati yang terlihat hidup. Boneka bisa menghangatkanmu dan menjadi temanmu. Tapi, apakah buku bisa melakukannya? Itu berbentuk persegi, dingin dan keras. Benda itu terlalu jelas menampakkan bahwa ia adalah benda mati," kataku.

Rudolf menggelengkan kepalanya. Ia menepuk-nepuk tempat di sebelahnya dan menyuruhku untuk duduk. "Ini sangat berarti bagiku, Heinz," sekali lagi Rudolf mendekap buku dongengnya. "Kenapa? Apa yang benda itu lakukan?" tanyaku.

"Apa yang aku maksud adalah kisah di baliknya. Sesuatu yang berarti ada di sana," Rudolf memejamkan matanya dan mengangkat buku itu ke bibirnya. "Seseorang memberiku buku ini. Ia selalu membacakan kisahnya kepadaku. Ia selalu mengulang kisah Konrad untuk memperingatkanku supaya tidak menghisap jempol. Katanya, itu tidak baik untuk gigi. Ia bercerita dengan hebat. Ia tidak pernah membuatku bosan dengan kisah yang sama," jelas Rudolf.

"Siapa orang itu, Rudolf?" tanyaku.

Rudolf tersenyum lagi. Ia melirikkan matanya ke atas, membayangkan sosok yang ia maksud. "Ibu," jawabnya singkat.

Aku terkejut bukan main. Seumur hidupku, aku mengenal ibu sebagai sosok yang tidak pernah memedulikan kami. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ia hanya berada di rumah beberapa hari. Setelahnya ia akan pergi lagi entah ke mana. Aku juga tidak pernah melihat Rudolf berdekatan dengan ibu. Ketika wanita itu sedang berlibur di rumah, aku tidak pernah melihatnya berinteraksi dengan Rudolf.

Ah, waktu itu aku berpikir ibuku terlalu pilih kasih. Ia hanya peduli terhadap Rudolf, atau mungkin juga dengan Erwin. Sedangkan aku terlalu dekat dengan Paulina sepanjang waktu, sehingga aku melewati kebersamaan Kakak-kakakku dengan ibu.

Aku mendecak kesal. "Ini tidak adil! Kenapa aku tidak mendapatkan apapun darinya?" teriakku. "Apakah aku akan mendapatkan sesuatu jika aku meminta kepadanya?"

Rudolf--masih dengan buku yang menutupi wajahnya--menyeringai. Ia mematung dalam ekspresi itu. "Coba saja, ketika ibu pulang, lompat ke arahnya dan peluk ia. Beri ia kejutan. Ia pasti akan bahagia dan memberimu sesuatu," kedua mata Rudolf semakin menunjukkan perasaan yang menggebu. Kakakku itu pada akhirnya menyingkirkan buku dari wajahnya. Dengan raut yang cukup serius ia bertanya kepadaku. "Apakah aku boleh tahu apa yang kau inginkan, Heinz?"

Wajahku berseri-seri. Aku mengangguk dengan antusias. Tentu saja aku akan memuaskan rasa penasaranku. "Aku ingin ikut ibu ke tempat ia bekerja. Aktris, bukan? Kudengar dari Paulina itu adalah hal yang menyenangkan! Berlakon, dan ayah akan mengambil gambarnya. Lalu ketika filmnya jadi, aku akan terkenal!" aku bangkit dan berseru.

Ah, aku yakin sekali mataku berbinar waktu itu. Tiba-tiba aku mengalami lonjakan semangat. Aku tidak sabar menunggu orang tuaku tiba di rumah. Namun, ketika aku melihat Rudolf, aku tidak menyaksikan antusias yang sama. Mata Rudolf melebar dan kosong. Alisnya berkerut dan mulutnya terbuka. Sungguh ekspresi yang aneh. Ia tidak bergembira. Ia menghadirkan suasana yang kontras. Rudolf ketakutan.

Buku dongeng terjatuh dari kedua tangannya. Wajah Rudolf memucat. Ia meremas celananya dengan tangan yang gemetar. "Tidak. Jangan lakukan itu," ucapnya.

Aku keheranan melihat ekspresi Kakakku. Wajahnya membuatku ketakutan. Perlahan aku terduduk lagi dan sedikit menjauhinya. "Kenapa?" tanyaku dengan berbisik.

"Jangan tempat itu. Jangan film," wajah Rudolf tertunduk. Urat-urat di punggung tangannya keluar, kemudian jemarinya terangkat dan erat memegangi kepalanya. "Tidak! Tidak! Tidak!" Rudolf menjerit.

Seketika aku berlari terbirit-birit. Aku mengintip dari kejauhan, menyaksikan Rudolf yang semakin tidak terkendali. Panik, aku memanggil Paulina berulang kali. Wanita itu datang dengan tergesa-gesa. Tudung di kepalanya sampai terjatuh. Ia bersusah payah mendekap tubuh Rudolf. Namun, kakakku itu sulit untuk ditenangkan.

Paulina mengeluarkan kepalanya lewat jendela. Ia berseru memanggil Jung, tukang kebun kami. Tidak lama setelahnya aku mendengar langkah berat yang berlari menaiki tangga. Jung datang dengan sisa-sisa tanah di pakaiannya. Ia berlari memasuki kamar Rudolf dan memeganginya bersama dengan Paulina.

Hari itu, aku sangat ketakutan. Kepalaku dipenuhi pertanyaan yang sama. Apa yang terjadi pada kakakku? Itu pertama kalinya aku melihat Rudolf lebih agresif daripada Erwin ketika ia mengusirku.

Aku melangkah mundur menjauhi kamar Rudolf. Teriakannya sungguh mengerikan dan menggelegar. Aku sangat ketakutan. Aku dibebani oleh rasa bersalah. Langkahku terus berjalan mundur. Hingga tubuhku menabrak sesuatu di balik punggungku. Cepat-cepat aku menoleh, dan kutemukan Erwin berdiri dengan violin di tangannya. Ia hadir dalam ekspresi yang sama. Ia penuh heran dan ketakutan. Perlahan ia menggulirkan matanya ke arahku.

"Apa yang terjadi dengannya?" tanya Erwin.

"Tidak, aku tidak tahu! Demi Tuhan, itu bukan perbuatanku!" ucapku tergesa.

Ia mengangkat penggesek violin dan menodongkannya ke wajahku. Matanya melotot, ia begitu mengintimidasi. Ia bergerak maju, berupaya memojokkanku ke dinding. "Itu salahmu, Heinz," Erwin berbisik dengan perlahan, tetapi ucapannya penuh penghakiman.

Aku semakin terpojok. Punggungku membentur dinding. Aku tidak mampu berkutik. Suasana begitu kacau, jeritan Rudolf masih terdengar, dan tuduhan Erwin tidak kalah mengerikannya. Kepalaku pusing, dipenuhi peristiwa yang tidak aku pahami. Aku menggelengkan kepalaku, aku menyangkal tuduhan itu.

"Berhenti mengelak. Itu salahmu. Andai saja kau tidak ada, Rudolf tidak akan semenderita itu!" Erwin membentakku. Sungguh, aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan.

"Apa salahku, Erwin?"

Ia menekan penggesek violinnya ke leherku. "Salahmu? Kau ada, dan itulah salahmu!" teriaknya di telingaku. Setelah ucapan itu, leherku terbebas dari penggesek violinnya. Erwin melengos dan kembali ke kamarnya. Aku ditinggalkan dengan ribuan pertanyaan begitu saja.

Jeritan Rudolf tidak terdengar lagi. Suasana rumah kembali sepi. Aku mengendap-endap menghampiri kamar Rudolf. Napasku terengah-engah dengan ujung jari yang terasa dingin. Aku sadar perasaanku sedang tidak baik-baik saja. Namun, aku tetap ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Aku mengintip dari balik pintu kamarnya. Aku melihat Paulina yang tengah mengusap-usap punggung Rudolf, sementara Kakakku itu terduduk lemas di atas kasurnya. Jung--dalam wajah paniknya--memegangi segelas air dan membujuk Kakakku untuk meminumnya.

Aku tidak melihat kehidupan pada mata Rudolf. Ia seolah tidak bernyawa. Ia sungguh mengkhawatirkan. Aku tidak melihat dirinya yang kukagumi itu sekarang. Ketika aku sedang memerhatikannya lamat-lamat, Rudolf menyadari keberadaanku lagi. Lehernya berputar dengan sangat lambat dan berhenti ketika ia menangkap keberadaanku. Dengan tatapannya yang dipenuhi mimpi buruk, ia memelototiku dari sana.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang