Bab 44 | Dari Heinz: Seekor Merak

23 8 0
                                    

Sejak hari itu aku kehilangan minatku untuk banyak berbicara. Aku lebih banyak diam mengamati kehidupan keluargaku. Ayahku akhirnya pulang. Sikap dinginnya semakin terasa. Ia menghabiskan waktunya di ruang kerja. Ia tidak pernah keluar, selain ke kamar mandi atau membawa nampan makanan ke ruang kerjanya.

Aku tidak memiliki keberanian untuk bicara dengannya. Aku takut sikapnya sama seperti ibu. Aku hanya bisa memandanginya dari jauh. Sedangkan Rudolf telah pulih dari ratapannya. Ia kembali bersikap seperti biasa. Sejak peristiwa itu, dinding di antara kami muncul lagi. Aku tidak lagi sedekat itu dengan Rudolf.

Rudolf terlihat menyimpan banyak rahasia. Setiap tindakannya menimbulkan tanda tanya untukku. Aku suka mengamati Rudolf. Setiap akhir pekan di siang hari, Rudolf selalu pergi meninggalkan rumah. Ia mendatangi sebuah rumah yang terpencil di dalam desa, rumah reot dengan engsel pintu yang hampir lepas. Di sana tinggal seorang gadis dan ibunya. Mereka hanya tinggal berdua. Kehidupannya sungguh terasing. Hanya Rudolf yang rutin mendatangi mereka.

Rudolf sangat dekat dengan gadis itu. Aku sering mengekor dan mendapati mereka berjalan menyusuri desa. Kedua orang itu pergi menyusuri danau dan berdiam di sana. Mereka tertawa-tawa dan menari. Mereka terlihat sangat bahagia. Rudolf memeluk gadis itu dan menciumi dahinya berulang kali, seperti ia memeluk dan mencium buku dongengnya.

"Itu yang Ibuku lakukan sebagai tanda bahwa ia menyayangiku," ucap Rudolf kepada gadis itu.

Ah, lagi-lagi ia menyebut ibu. Apakah ibu yang ia maksud adalah ibu kami yang sebenarnya? Ya, ibu kami yang telah tiada, berbeda dengan wanita kasar itu.

Tetap saja, alasan mengenai jeritan Rudolf waktu itu belum aku ketahui. Aku tidak bisa diam saja. Aku ditenggelamkan rasa penasaran. Hingga suatu hari, aku mendengar percakapan Rudolf dengan wanita kasar itu. Pintu kamar Rudolf sedikit terbuka. Lihat, dan itu adalah pembuktian untuk segalanya.

Aku berada dalam posisiku, mengamati mereka dari celah pintu. Rudolf yang tenang tiba-tiba bersikap aneh. Sekali lagi aku melihat wajah ketakutannya. Rudolf seketika ciut begitu wanita itu hadir di hadapannya.

"Ikut aku!" ajak wanita itu.

"Ke mana, Marie?" Rudolf gentar. Punggungnya merapat ke dinding. Jari-jari Rudolf erat mencengkeram celananya.

Marie, sebut Rudolf. Ia tidak memanggilnya ibu. Ah, aku mulai menyadarinya. Rudolf tidak berbohong tentang siapa yang memberinya buku dongeng. Ia tidak bilang Marie yang memberinya, melainkan Ibu.

Marie terlihat gusar. Ia tidak memedulikan ketakutan pada wajah Rudolf. Ia langsung menariknya dengan kasar. Rudolf enggan, ia mencoba melawan wanita itu. Rudolf berpegangan pada ujung nakas dan menolaknya berulang kali.

"Kau pasti akan membawaku ke tempat itu, bukan? Tidak, aku tidak ingin ke sana lagi! Pasti pria menjijikan itu ada di sana!" Rudolf berteriak histeris setelahnya.

Apa yang terjadi? Situasi apa ini? Aku merasakan bulu kudukku yang berdiri. Aku tidak langsung mengalami itu, tetapi aku sangat ketakutan. Aku menyaksikan Marie semakin kehabisan kesabarannya dan memukuli Rudolf dengan sepatu. Rudolf meringkuk sambil berupaya melindungi tubuhnya. Namun, itu tidak membuatnya terbebas dari pukulan Marie. Akhirnya wanita itu terhenti. Kini ia mencengkeram dagu Rudolf dan mengangkatnya.

Ia membisikkan sesuatu, aku tidak dapat mendengarnya. Wajah Rudolf memucat, matanya membesar seiring bisikan itu masuk ke telinganya. Tiba-tiba tangan Marie melesat dan menarik sesuatu di sana. Aku tidak dapat melihatnya, wanita itu memunggungiku.

Rudolf menjerit. Ia terlihat panik dan menepis tangan wanita itu berulang kali. Pada akhirnya aku tersadar. Perasaan jijik dan takut langsung menyambarku. Tangan Marie di sana, 'mengacak-acak' bagian di bawah perut Kakakku.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang