Bab 36 | Film Pembunuhan

18 8 0
                                    

Aku terdiam memandangi kosongnya dinding itu. Warnanya putih tanpa noda sedikitpun yang mengotorinya. Ingatanku memutar ulang runtutan kejadian yang membuatku terlempar lagi ke tempat ini-rumah sakit di tengah kota. Dua kali aku singgah di sini, dan memang selalu hal menyedihkan yang mengikutinya. Luka tusuk di perut, ibu jari yang putus serta sakit yang membuatku demam dan menggigil. Entah sudah berapa lama aku berada di sini.

Tatapanku semakin dalam menjelajahi warna putih yang menyedihkan. Begitu memuakkan di saat yang sama. Perlahan bercak-bercak merah mengotorinya. Hanya dalam bayanganku, aku menyaksikannya lagi. Sebuah mimpi buruk memberikanku ilusi robekan panjang yang memuntahkan gumpalan darah, seperti yang kulihat di leher Ibuku. Aku terksiap, mataku terpejam setelahnya.

Ketika aku tertunduk, aku miris melihat ibu jariku sendiri. Bahkan aku merasa tidak pantas menyebutnya karena bagian itu tidak ada lagi padaku. Harus seperti apa menyebutnya? Ibu jari yang hilang membuatku meringis kesakitan. Aku meringkuk dan terus mengerang. Kesendirian membuat duniaku semakin luluh lantak. Orang-orang tidak berada di dekatku selamanya. Mereka datang ketika ada informasi yang mereka ingin dapatkan dariku, atau ketika mereka bersimpati dan mengasihaniku. Mereka pada akhirnya akan pergi, kembali kepada hidupnya sendiri. Dan seperti itulah cara dunia ini berputar. Aku tidak murka akan hal itu. Memangnya, apa yang bisa kulakukan? Membuat mereka sama tersiksanya seperti aku? Tidak, tidak seperti itu.

Lutz hadir dari balik bayangan. Ia mendekat perlahan dengan langkahnya yang mengambang. Hantu itu duduk di ranjang rumah sakit. Ia terdiam, memerhatikanku yang tengah bergelut dengan nasib buruk. "Ada apa? Berita menyedihkan apa lagi yang kau bawa untukku?" tanyaku. Lutz menggelengkan kepalanya. "Aku hanya ingin menemanimu," jawabnya singkat. Kemudian ia menanggalkan topinya dan tertunduk. Aku tersenyum getir dan kembali menatapi dinding kosong. Aku sungguh meresapi kesendirian itu. Kesedihan yang tidak terbendung, bahkan hingga aku tidak sanggup meneteskan air mata.

Pada hari-hari yang lalu seorang pria mendatangiku, aku memanggilnya Tuan Hesse. Ia menyuguhkanku ribuan pertanyaan tentang Ayah, Ibu, dan kejadian mengerikan itu. Ia selalu membawa perekam suara di sakunya. Kesendirianku diisi dengan mimpi buruk itu. Setiap pertanyaan adalah penderitaan. Wajah pembunuh itu terbayang-bayang. Tatapan matanya, senyumannya, dan wajahnya. Ingat itu, wajahnya. Wajahnya yang diwariskan kepadaku. Sekeras apapun aku mengelak dan membuang jauh-jauh wajah itu dari ingatanku, aku selalu melihatnya lagi. Di cermin, wajah itu terpampang jelas. Wajah pembunuh itu selalu ada. Ia mengikutiku, menanamkan gambaran masa depan tentang diriku yang perlahan berubah menjadi dirinya.

Aku meremas selimut di pangkuanku. Dinding kosong itu bertingkah seperti televisi ketika aku mengingat ucapan Tuan Hesse. Ketika berita itu sampai kepadaku, tubuhku menggigil berhari-hari. Seperti pemutaran film, di sana terpampang berita dari bilik-bilik penjara. Sebuah gambaran dari benakku mengenai pernyataan Ayah. Ia telah mengakui semuanya. Ia yang membunuh istrinya sendiri. Ia terduduk di kursi dengan orang-orang yang memandanginya dari seberang meja. Ia berwajah bangga, tidak menyesali sedikitpun perbuatannya. Peristiwa hari itu dimulai dengan telepon yang berdering. Terdengar suara istrinya di sana, ketika ia menginginkan suaminya pulang untuk membicarakan sesuatu. Oh, seseorang yang bersalah akan selalu merasa was-was. Ayahku--Rudolf-- merasakan hal yang sama. Meskipun begitu, ia tetap memenuhi permintaan itu. Ia pulang ke rumahnya yang telah lama ia tinggalkan.

Ia merasakan suasana yang begitu sepi. Ibuku--Magdalena--sudah berdiri di lorong dan menyambutnya dengan wajah yang sendu. Ia mendekat dan pada akhirnya berterus-terang. Ia bertanya-tanya tentang apa yang selama ini membebani hidupnya. Apakah ia sungguh dicintai? Kenapa pada akhirnya lelaki itu meninggalkannya pergi? Magdalena melemparinya pertanyaan tanpa henti. Rudolf tersenyum lembut. Menganggukkan kepalanya perlahan dan merangkul Magdalena. "Aku mencintaimu," katanya. Magdalena tertunduk, kemudian kepalanya jatuh ke pundak pria itu. Ia terbayang lagi mengenai kesedihannya selama ini. Ia ditinggalkan tanpa tahu alasannya. Ia mengingat segala amarahnya, segala penderitaan dan kebencian yang ia rasakan. Ia menepis rangkulan itu. Bukankah sikap Rudolf sungguh membingungkan? Untuk apa ia meninggalkan seseorang yang ia cintai? Bahkan pengakuannya menimbulkan keraguan. Sungguhkah perasaan itu?

Magdalena mengamuk, ia mengangkat kepalan tangannya dan menjatuhkannya bertubi-tubi. Ia mengerahkan kuku-kuku di jemarinya dan mengacak-ngacak wajah Rudolf. Ia kacau berantakan. Magdalena sungguh tidak mengampuninya. Hingga akhirnya ia terhenti dan memberikan sebuah ancaman. "Siapa dia? Siapa orang sialan itu? Dia tidak lebih baik daripada aku. Aku akan membuat wanita itu menderita, ia akan mati menyedihkan!" ucap Magdalena. Mendengar itu, mata Rudolf terbelalak. Ia menendang Magdalena hingga ia tersungkur ke lantai. Ia sangat marah. Magdalena ketakutan dan berlari terbirit-birit memutari rumah mereka. Rudolf menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya, itu membuat Magdalena semakin ketakutan dan merasa terancam. Ia mengambil pisau dari meja dapur dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ia menjadikan pisau itu sebagai tamengnya. Ia terpojok, gemetar, dan menyaksikan pria itu berjalan perlahan mendekatinya.

Aku menghela napasku dan memejamkan mata. Aku ingat betul mengenai berita Tuan Hesse tempo hari, yaitu mengenai ucapan Ayah ketika Ibu mengangkat pisau ke depan matanya. Wanita itu ketakutan dan ingin melindungi diri. Pria itu bertingkah gila dan menantangnya. "Bunuh aku, bunuh aku, Magdalena. Cabik aku, kuliti aku, potong tubuhku. Ekspresikan kebencianmu, Magdalena. Hentikan iblis itu sebelum ia melahapku," ia semakin mendekat dan membentangkan kedua tangannya, tidak memberikan perlindungan apapun kepada tubuhnya.

Pada dasarnya Magdalena enggan membasahi tangannya dengan darah. Ia menggelengkan kepalanya, tidak ada keinginan untuk hal itu. Ia mulai meneteskan air mata. Ia mulai mempertanyakan tindakannya sendiri. Jauh di lubuk hatinya, ia tidak sanggup, ia begitu mencintai pria itu. Yang ia inginkan bukanlah kematian pria itu. Ia hanya ingin sosok yang dicintainya kembali.

"Cepat lakukan. Goreskan pisau itu di sini," Rudolf meletakkan telunjuknya di leher dan menggerakkanya secara horizontal. langkahnya semakin mendekat. Jarak mereka terhitung dua langkah lagi. Rudolf berhenti dan terdiam memandangi wanita itu. "Bunuh aku sebelum aku yang membunuhmu," bisiknya. Magdalena terbelalak, terkejut dengan bisikan itu. Genggamannya melemas, dan pisau itu terjatuh ke lantai. Ia langsung berlari menghampiri tangga, menaikinya, dan menghilang. Rudolf langsung memungut pisaunya dan mencari keberadaan Magdalena. Ia berjalan perlahan, menikmati jantungnya yang terus berpacu. Meresapi ledakan antusias yang menggebu-gebu.

Rumah itu luasnya terbatas. Ia paham betul tiap sudutnya. Ruangan telah dikunjungi satu per satu. Keberadaan yang ia cari nihil. Rudolf memasuki kamarnya. Ia melirik ke sana dan ke sini. Ia berlutut dan menarik sesuatu dari balik meja kerjanya. Brankas yang ia tinggalkan masih ada di sana. Tanpa tersentuh sedikitpun. Jarinya sibuk memutar-mutar kombinasi kode. Hingga akhirnya benda itu terbuka, dan ia menemukan teman lamanya di sana, sebuah revolver dengan silinder terisi penuh.

Rudolf berjalan lagi, satu-satunya yang tersisa adalah kamar anaknya. Ia memasukinya dan menemukan ruangan itu kosong. Ia memeriksa tiap-tiap sudut. Namun, keberadaan itu tidak ditemukan bahkan di antara kaki-kaki ranjang. Ia tidak berhenti, ketika ia menoleh, ia menemukan lemari. Begitu mencolok, begitu besar di antara furnitur-furnitur kecil. Ia membuka pintunya, dan ia menemukan Magdalena di sana. Ia mengangkat revolver-nya tepat mengarah ke dahi wanita itu. Ia membuatnya menjerit. Magdalena meringkuk, mengepalkan tangan dan berdoa. Peluru tidak kunjung melubangi dahinya. Magdalena mengangkat kepalanya dan melihat Rudolf tidak berkutik.

"Kebencian ini telah berlangsung lama. Siapa dirimu, wanita asing? Aku tidak pernah mengharapkan keberadaanmu di sisiku. Apa yang kulakukan hanyalah mengikuti tuntutan orang tua sialan itu. Menangislah, menangislah selagi kau bisa," Rudolf tersenyum lebar. "Tunggu, aku punya cara yang lebih baik," ucapnya lagi. Magdalena ternganga, bertanya-tanya mengenai ucapan itu. Revolver tidak lagi menodong dahinya. Rudolf menyembunyikannya ke dalam mantel. Sebagai gantinya, ia mengeluarkan pisau dari sana. Jeritan pun terdengar, setelahnya, suara cabikan mengambil alih. Ia membunuhnya. Magdalena terbelalak, tubuhnya kejang, sobekan di lehernya terbuka lebar. Ia terbunuh. Ia dibunuh oleh suaminya sendiri.

Tubuhku tersentak. Mengingat berita dari Tuan Hesse membuat perasaanku kacau. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Mulutku terbuka lebar, hingga kutemukan sudutnya yang terasa sakit. Kulit-kulit tipis itu robek. Tubuhku terombang-ambing seiring kemarahanku. Kedua tanganku bergerak tanpa ampun menarik-narik rambutku sendiri. Surai-surainya bertebaran di lantai rumah sakit. Kaki ranjang berdecit, menanggapi amarahku yang menggebu-gebu. Lutz melompat dari atasnya, ia berlari menuju pojok ruangan. "Konrad, apa yang terjadi denganmu?" ia terkesiap.

"Aku tidak akan mengampunimu! Akan kubuat kau mati menderita! Kau sungguh hina, pemakan kotoran! Kau akan membusuk di neraka!" Teriakku. Isi kepalaku sungguh runyam. Aku mengutuk siapapun yang berkontribusi dalam kehancuran hidupku. Aku mengharapkan kematiannya. Aku akan mewujudkannya, bagaimanapun caranya. Para perawat mulai datang. Mereka berlari berbondong-bondong. Mereka meringkus tubuhku yang habis dilahap api kemarahan. Aku menjerit dan terus menjerit. Aku akan terus melakukannya sampai runyam di kepalaku raib.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang