Bab 26 | Rumah

30 8 0
                                    

Aku memandangi hampa sambil meresapi rasa sakit di telingaku. Medis membersihkan darah yang mengalir di sisi wajahku. Kasa bertumpuk di atas luka dan gulungan perban melilit kepalaku. "Kau harus ke rumah sakit." Ujar petugas medis berkacamata itu. Aku terdiam sejenak dan berakhir menggelengkan kepalaku. "Aku masih bisa mendengar dengan baik. Yang hilang hanya daun telinganya." Ucapku. "Bukan. Maksudku, kau dipenuhi banyak sekali luka, dan yang paling parah adalah telingamu." Balas si petugas medis.

"Aku masih bisa berperang." Aku mulai bersikap keras kepala. Kulihat pantulan warna putih memenuhi lingkar kacamatanya, petugas medis itu terdiam dengan wajah yang kaku. Kemudian ia beranjak untuk memunguti gumpalan kasa yang bertebaran "Jika terasa nyeri atau terjadi infeksi, datang saja lagi. Kau akan langsung diarahkan ke rumah sakit." Ucapnya. Aku pun mengangguk dan segera meninggalkan tempat itu. Ketika aku sampai di ujung tenda medis, pria berkacamata itu menghentikan langkahku. "Kenapa kau selalu ingin berperang?" Terdengar sebuah napas berat dari sana. Mendengar itu, aku terdiam sejenak. Mataku gencar memandangi sekitar. Pertanyaan itu mengganjal di benakku. Kenapa aku terus berperang? Hal itu kubenci, tetapi aku tidak bisa berpaling darinya. Bahkan ketika ada kesempatan untuk berpaling darinya, aku tetap saja kembali kepada hal memuakkan itu. "Aku hanya menjalani kehidupanku, Dok." Kemudian aku langsung beranjak dari sana.

Aku membawa langkahku menuju perkumpulan di bawah pohon. Aku melihat Ludwig di sana. Kudengar sayup-sayup obrolan mereka dari kejauhan. "Jika ia harus mati maka matilah. Membakarnya hanya akan menimbulkan asap dan bau tidak sedap." Ludwig mulai menghisap rokoknya. "Kematian yang sangat tidak efisien." Lanjutnya lagi. Semua orang di sana mendengarkan ucapannya. Mereka terdiam dan mengangguk, kemudian kembali kepada cerita mereka masing-masing. Seseorang memerhatikan kehadiranku, kemudian disusul dengan yang lainnya. "Bagaimana dengan telingamu?" Tanya seseorang dari perkumpulan itu. "Hilang." Balasku.

"Bagaimana bisa benda itu terpangkas darimu?" Satu pertanyaan melayang lagi ke arahku. Aku terdiam untuk memikirkan jawaban yang tepat. Jika kukatakan aku hendak menolong bocah itu, mereka pasti akan menyadari kenaifanku. Nyatanya kebodohan itu adalah hal yang memalukan. Petugas dengan gorget akan mendengarnya, bahkan sekarang ia tengah memandangiku dari sana. "Serangan tiba-tiba oleh seorang bocah dengan belati. Tepatnya sebuah kejutan dari balik pintu." Ucap Ludwig tiba-tiba. Ia mencoba menutupi kejadian yang sebenarnya. Yang lain pun terdiam dan mulai memandangi telingaku dengan tatapan tragis.

Langit berubah gelap. Nyala api oranye mewarnai seisi ruangan. Para prajurit yang kelelahan mencari kehangatan dengan menyalakan api unggun. Dengkuran pun terdengar, mereka memejamkan mata dengan senapan di dekapan. Seseorang memantau ke luar tembok dengan posisi siaga, menjaga rekan-rekannya yang sedang beristirahat. Mataku masih terbuka, memandangi dinding kusam dan robekan poster yang menempel di permukaannya. Kemudian mataku beralih ke telapak tanganku. Terdapat potongan telingaku di atasnya. Tanpa menghiraukan tatapan menghakimi dari Ludwig, aku kembali memasukkan potongan telingaku ke saku.

Ludwig menghela napas berat dan menengadahkan kepalanya. "Hiduplah lebih lama." Embusan asap bertiup dari mulutnya. "Bertahanlah sampai akhir." Lanjutnya. "Semua orang menginginkan itu, Ludwig." Aku meraba saku di dadaku. Aku mengambil sebuah buku kecil, kemudian aku membuka lembar-lembarnya. Terselip sebuah foto di sana. Senyumku mengembang. Kuperhatikan gadis itu dan kuingat kembali kenangan bersamanya. Seorang gadis berkepang dua dengan hasduk di kerahnya. Ia adalah kebahagiaan yang selalu aku perjuangkan. Ketika aku meninggalkannya di Berlin, air matanya berlinang. Pulanglah sebagai pahlawan. Itu adalah untaian kata yang kudengar darinya, kemudian ia memelukku erat-erat.

"Gadis BDM, ya? Pasangan yang serasi." Ludwig menyeringai. "Siapa nama gadis itu?" Lanjutnya. Senyumku melebar. Kuingat kembali nama itu. Sebuah nama yang indah, selalu menjadi bunga di mimpiku. "Isabella." Jawabku. "Aku bertemu dengannya setelah beberapa tahun bergabung dengan Hitler Jugend. Ia sangat muda dan cantik. Perangainya sangat lembut. Ia menyukai bunga bluebell dan kupu-kupu." Mataku terpaku pada senyuman di foto itu. Begitu hangat, seakan gadis itu datang dan mendekapku. Kuperhatikan cincin yang tersemat di jari manisku. Gadis itu memberikannya kepadaku tiga hari sebelum aku pergi ke Timur. Aku teringat lagi akan rautnya waktu itu. Matanya berkaca-kaca dan segaris senyuman terlihat di wajahnya. Berjanjilah kau akan pulang. Ucapan itu turut melekat di ingatanku.

"Dulu gadis itu berkata kepadaku, ketika usianya menginjak sembilan belas tahun ia ingin menikah denganku. Ya, dan aku berjanji padanya, ketika waktunya tiba aku akan menikahinya. Tapi, kau lihat? Bahkan hingga sekarang hal itu belum tercapai. Bahkan aku tidak menghadiri ulang tahunnya waktu itu. Aku hanya mengirimkannya surat dari sini." Ucapku. Ludwig terdiam, ia masih memandangiku. "Apakah ia tetap menyukaimu meskipun sekarang kau bertelinga satu?" Setelah itu ia tertawa terbahak-bahak. "Kupikir itu adalah kejutan yang bagus untuknya!" Ludwig melayangkan lembaran plastik ke arahku, seringainya melebar. Ia juga telah menyadari bahwa penampilanku saat ini sungguh kacau. Telingaku hilang satu. Meskipun terdengar seperti nasib buruk, tetapi entah kenapa kini hal itu terdengar seperti komedi.

"Hei, tunggu. Kau benar-benar mengingatkanku dengan ucapan itu." Ludwig membalik badannya dan merogoh sesuatu dari tasnya. Ia mengangkat sebuah makanan kalengan dari sana. "Kemarin ulang tahunmu, bukan?" Ia membuka tutup kalengnya dan menancapkan sebatang korek api di atas makananannya. Ketika api kecil itu menyala, ia menyodorkannya kepadaku. "Sial, Ludwig. Bahkan aku melupakannya. Nyatanya kaulah yang mengingatkanku." Senyum kembali menghiasi wajahku. "Dua puluh tiga? Ayolah, kau semakin tua!" Ludwig tertawa dan menepuk-nepuk pundakku.

Kupandangi nyala api itu, kemudian aku memejamkan mata. "Aku ingin kembali ke Berlin dan menjumpai kebahagiaanku lagi." Aku membuka mata, dan kulihat Ludwig yang turut berseri. "Dan, aku berharap Ludwig juga bisa kembali ke Berlin dengan selamat, dan dia akan mencapai impiannya menjadi aktor." Bisikku, kemudian aku meniup api itu dan membuatnya padam. Asap tipis meliuk-liuk dan meninggalkan bekas di dalam kegelapan.

Di tengah keheningan, dentuman mulai terdengar. Para prajurit langsung terbangun dan mengangkat senapannya. Suara mesin pesawat menggema di gelapnya langit malam. Dentuman terdengar lagi, diikuti dengan hujan bebatuan dari bangunan yang hancur. Kilatan cahaya mengedip berulang kali, seiring dengan ledakan yang menyerang kami bertubi-tubi. Buru-buru aku menciduk makanan kaleng dengan tanganku dan memasukkannya ke dalam mulut, bahkan Ludwig turut melakukan hal yang sama. Kami berlari kalang kabut dengan senapan di jinjingan kami. Aku tidak akan pernah melupakan ini. Hari ulang tahun yang paling berkesan justru terjadi di medan perang, dengan kejutan dari serangan udara.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang