Bab 4 | Kupu-kupu

71 17 2
                                    

"Kau terlalu sering memandanginya. Kau menyukai itu?"

Lutz mendekat dari arah yang berlawanan denganku. Setelah beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya, sekarang aku mulai terbiasa dengan kebiasaan Lutz yang selalu mengikutiku. Lutz terkadang menghilang dan juga terkadang muncul secara tiba-tiba di waktu yang tidak aku sangka.

Aku putuskan pergi dari rumah pagi tadi. Jangan menyangka jika aku ini anak yang besar di atas kasur. Aku lebih suka pergi sana-sini sendirian dengan sepedaku daripada aku kelihatan seperti beruang hibernasi.

Teras rumah belum lagi merasakan debu-debu dari sepatu kotorku. Sebagai gantinya, aku menghabiskan waktu untuk duduk-duduk di bawah pohon cemara. Tidak jauh di depan mataku, ada hamparan rumput yang menutupi kerikil di tanah. Di atasnya berdiri sebuah pondok tua yang mungkin telah lama ditinggalkan oleh pemiliknya.

Terkadang aku pergi ke sana dan menginjak lantai-lantai kayunya. Tempat itu tidak lebih dari pondok tua yang telah dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Sunyi, kotor, bahkan aku bisa menemukan tanaman rambat yang menghiasi dindingnya. Di pondok tua itu, dulu aku bertemu dengan Bondi anjing kecilku.

Bulunya putih, tubuhnya kurus dan kotor ketika aku pertama kali menjumpainya. Bondi--yang di mana ia merupakan seekor Pomerania--terlihat sangat menyedihkan dulu. Ia selalu membuatku iba setiap kali aku memandangnya. Sekarang Bondi terlihat lebih baik, bahkan Lutz menyukainya.

Lutz memang terlihat akrab sekali dengan anjingku. Rasanya Bondi lebih menyukai Lutz ketimbang aku pemilik aslinya. Bondi seketika berlari menghampiri Lutz sejak kedatangannya tadi. Itu tidak masalah bagiku. Lagipula, aku sedang disibukkan untuk memerhatikan kupu-kupu yang menghinggapi ranting di genggamanku.

"Kau tidak tahu, Konrad? Binatang itu dulunya adalah seekor ulat yang menjijikan. Aku tidak pernah menyukai kupu-kupu."

"Kebanyakan orang mengutuknya ketika ia berwujud ulat, tapi begitu dipuji ketika telah berubah menjadi seekor kupu-kupu."

Bukan tanpa dasar mulut ini bicara begitu. Aku sering menyaksikannya dengan mataku sendiri. Ibuku sangat membenci ulat. Aku ingat kejadian musim panas yang telah lampau--kira-kira usiaku masih delapan--ketika seekor ulat dengan corak hitam singgah di teras rumah. Ibu terlihat begitu benci dan merapal dengan ribuan mantra mematikannya. Ulat itu hanya lewat sebagai makhluk kecil menawan yang tidak berdosa.

Di lain waktu ketika musim semi tiba, ibu menari melintasi taman dengan bunga-bunga yang tumbuh di atas tanahnya. Dari mulutnya aku bisa mendengar syair-syair indah yang ia tujukan kepada setiap kupu-kupu yang menghinggapi warna-warni bunga.

Terkadang sikap manusia bisa begitu membingungkan. Tidak peduli dengan suatu wujud yang buruk rupa, kami hanya akan melihat kepada sesuatu yang indah tanpa tahu apa saja yang telah dialaminya hingga wujud itu bisa menjadi indah.

"Lutz, setidaknya kau tidak seperti ibu yang hanya memuji keindahan sayap kupu-kupu tapi begitu membenci seekor ulat." Ucapku.

Lutz membalasku lagi dengan senyumannya. Ia memang selalu terlihat begitu. Anak misterius itu bisa dikatakan lebih ceria daripada aku. Mungkin bisa juga dikatakan ia lebih 'hidup' dibandingkan diriku. Karena aku selalu merasa langkahku mengapung di atas ketidakpastian. Keseharianku hanya sebatas diwarnai oleh kusam. Tidak salah juga jika Lutz mengatakan aku ini sudah mati.

Lutz tampak sederhana dengan kemeja putih, rompi hitam, dan celananya yang terlihat usang. Ia juga memakai sepatu lusuh dengan benang-benang sol yang timbul. Di jarinya melingkar sebuah cincin yang terlihat agak kebesaran. Ia tampil sebagai sosok yang meniup pertanyaan dari mulutnya, dan kali ini pertanyaannya terdengar seperti fantasi di terik matahari.

"Konrad, jika kau mendapat kesempatan untuk hidup sebagai makhluk selain manusia, apa yang kau pilih?"

Ia begitu menanti jawabanku. Kepalanya bertumpu pada satu tangan ringkih dan pucatnya. Lutz dengan tekun menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulutku.

"Aku ini cuma seekor ulat kecil yang nanti akan berubah menjadi kupu-kupu. Aku mengepakkan sayapku bebas di udara, lalu hinggap dari bunga ke bunga untuk menghisap nektar, atau membantu penyerbukan. Setidaknya itu terdengar lebih indah daripada aku hanya diam saja sebagai seonggok daging yang tidak berguna. Bahkan kau terlihat lebih bernyawa dibandingkan aku, Lutz. Ragaku bergerak, namun jiwaku membusuk."

Mulut bocah itu ternganga. Matanya tidak berkedip. "Apakah anak muda berjiwa mati sedang mengambil alih zaman ini? Di masaku, banyak dari kami yang bernyanyi riang sambil mengeruk batu bara, atau kami disuruh bekerja dengan durasi yang melahap waktu main kami, bayaran yang didapat pun tidak setimpal. Ketika anak-anak mengantungi uang, sang ayah akan merampasnya dan berkata 'ini untuk kepentingan bersama.' itu terlalu klise. Nyatanya uang itu akan ditumpuk sendiri."

Terdengar menyedihkan. Aku tidak akan bisa membantahnya. Jujur saja aku tidak merasakan hal yang sama dengannya atau dengan anak-anak lain di zamannya. Aku tidak kelelahan karena bekerja, aku hanya lelah dengan sikap buruk orang tuaku, pukulan dari ibu, dan perilaku ayah yang membingungkan.

"Lagipula, Konrad. Hidupmu akan lebih singkat sebagai kupu-kupu dibandingkan dengan kau menjadi manusia. Kenapa kau tidak memilih kura-kura yang bisa membawamu kepada umur yang panjang?"

"Aku menyukai kupu-kupu, Lutz.
Hidup singkat yang indah lebih kupilih daripada hidup lama dan menyaksikan dunia perlahan hancur. Berlabuh di atas bunga-bunga selagi aku bisa, sebelum aku tidak bisa melihatnya lagi tumbuh di dunia yang perlahan kehilangan warnanya."

Lutz ikut memandangi ranting di genggamanku, kemudian ia memerhatikan corak di sayap kupu-kupu itu. Muncul keprihatinan yang mendayu-dayu. Setelah itu, ia menatapku.

"Kata-kata itu mirip sekali dengan seseorang yang pernah kukenal dulu. Pernyataan itu memang tidak pernah berubah."

Lutz mengandai-andai satu rupa yang masih terlihat samar-samar baginya, lalu ia tersenyum lagi ketika sungguh mengingatnya. Lutz pasti telah bertemu ribuan orang di setiap langkahnya sebagai sosok hantu yang menyusuri jalan-jalan di kota, atau bertemu dengan orang-orang di masa hidupnya.

"Siapa dia?"

"Si manusia kupu-kupu. Namun sayangnya, Konrad. Setelah ia berkata begitu, tidak lama ia mati."

Ah, anak itu pandai sekali membuatku mengatup mulut. Entah kenapa sejak kedatangannya, ia selalu membawa nama kematian seakan ia sengaja datang untuk menyampaikan pesan itu kepadaku. Sampai-sampai aku berpikir bahwa kematianku hanya sejengkal lagi, dan gerbang itu akan terbuka lebar untukku.

Lutz bangkit dari duduknya setelah tidak lama ia menunjukkan senyum khasnya kepadaku. Lutz berjalan bersama Bondi meninggalkanku yang masih termenung memikirkan ucapannya. Anak itu seakan merasa tidak bersalah membiarkanku menjadi sosok pemikir untuk setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Seorang manusia kupu-kupu yang tentu saja tidak pernah kukenal kini menjadi pengunjung misterius di benakku, dan tentang kematian yang kini lekat dengan hari-hariku.

"Tidak selamanya menjadi kupu-kupu itu indah, ada saatnya ia akan mengalami masa sulit. Termasuk ketika mendapat cacian pada wujudnya yang masih berbentuk ulat, dan juga harus menyadari kenyataan bahwa umurnya singkat."

Itu adalah kata-kata Lutz, sebelum akhirnya anak itu mengajakku pulang dan bersikap seolah tidak ada kata-katanya yang menyinggung umur pendek seseorang yang pernah ia kenal.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang