Bab 7 | Samar-samar

82 13 0
                                    

Aku terbangun dalam kelabu yang menaungiku. Aku tidak lagi menghirup udara segar. Bau asap menyebar mengikuti angin yang membawanya. Di saat itu aku tersadar bahwa situasi sedang tidak baik-baik saja.

Tubuhku masih bersandar di sebuah batang pohon. Rumput-rumput tidak berhenti membelai jariku. Aku tenang dalam keheningan. Entah dari taman ajaib mana, aku bersumpah ada yang membelai telingaku dengan lembut. Alunan musik yang indah itu bertingkah seolah peri yang berbisik akan kisah-kisah manis.

Aku bangkit dan melangkah menuju suara yang mengundangku untuk mendatanginya. Aku sudah tiba di ujung area pepohonan, di balik semak-semak belukar. Tanah yang berada jauh di depan sana tadinya adalah pemukiman sebelum akhirnya hangus dan menyisakan reruntuhan.

Ada segerombolan prajurit di sana. Mereka banyak terlihat di dalam bangunan-bangunan yang tidak lagi utuh. Seseorang terduduk di jendela tanpa takut penembak runduk melubangi kepalanya. Tangannya sibuk memainkan akordion, dari sana alunan itu terdengar.

On The Hills Of Manchuria terus melantun, mewarnai suasana medan perang yang begitu kontras. Karung-karung bertumpuk dengan prajurit yang bersembunyi di belakangnya. Mereka tenang dalam sementara waktu, membiarkan musik itu berbisik lembut di telinga mereka. Pos-pos pertahanan tidak lagi terlihat mencekam. Begitu sunyi dan tenang, seakan mereka sedang meresapi waktu yang mungkin tidak akan mereka jumpai lagi.

Ah, sudah sejauh apa aku melangkah? Aku menyusuri hutan terlalu dalam. Ini tindakan yang ceroboh, jika saja seorang dari mereka menyadari kedatanganku, maka aku tidak akan baik-baik saja.

Aku berbalik dan kembali memasuki hutan. Aku mulai menyalakan rokok dan melangkahkan kakiku. Setidaknya, izinkan aku istirahat sejenak. Sebelum penyergapan itu berlangsung, aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepada semesta ini, karena aku tidak pernah tahu kapan sebutir peluru akan merenggut nyawaku.

Kira-kira kapan lagi aku bisa melihat tarian angsa-angsa di atas panggung? Akan ada suara tepuk tangan dan sorak gembira orang-orang. Aku rindu warna lampu sorot dan kursi empuk yang pernah aku duduki waktu itu. Sekarang yang bisa kulihat hanya asap rokok yang menari dengan latar langit abu-abu. Aku ingin terbang saja dan kembali ke balik selimut hangat dan tidur seharian di kamarku yang sudah berdebu.

Aku mulai membayangkan perapian ketika musim dingin dan segelas cokelat panas. Aku ingin berseluncur di atas es seperti yang dulu aku lakukan bersama para tetanggaku, lalu tentang ingatan musim semi ketika aku tertidur pada siang hari dengan pemandangan bunga-bunga, kemudian gadis dengan gaun hijau zambrud akan mengajakku pergi ke pertunjukkan opera.

Ingatan itu seperti film yang diputar di kepalaku. Itu bahkan membuatku terbahak sendiri ketika ingat gadis bergaun hijau zambrud harus berurusan dengan kotoran burung di topinya, akibatnya, aku tergelak sendiri di tengah sepinya hutan Eropa Timur.

Apakah pada akhirnya aku bisa menemukan jalan pulangku? Aku memikirkan akan seperti apa aku jika berhasil melalui peperangan ini. Biarkan aku mengambil pilihan ketiga selain mati atau berubah menjadi orang gila. Aku hanya ingin pulang dengan pikiran yang masih waras, meskipun ada banyak pilihan buruk lainnya, seperti berakhir kerja paksa bersama petani kaya dan tahanan politik.

Dalam waktu sekejap aku akan dibuat tunduk terhadap komunis-komunis itu. Bekerja sepanjang hari, menerjang musim dingin di Siberia sampai kaki-kaki lembap dan membusuk. Ketika pada akhirnya aku ceroboh dan tidak berguna, satu tembakan akan melubangi kepalaku.

Ah, memikirkan itu membuat moralku semakin berantakan. Aku memang menyedihkan, tidak seperti dulu ketika aku remaja, begitu mendambakan medan perang. Moral dibangun dengan pondasi kuat, yang muda bersorak begitu memasuki gerbong-gerbong kereta sebagai pasukan infantri. Pergi dari rok mama, dan kini dihadapkan kepada mimpi buruk berkepanjangan.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang