Bab 14 | Kisah Lutz: Dari Sudut Kemalangan

65 11 0
                                    

Orang berwajah suram itu membisu. Kini matanya terpejam, mulutnya rapat, kepala pemuda itu tertunduk ke arah pangkuannya. Konrad jatuh ke dalam tidur yang lelap. Ia tidak akan terbangun dalam waktu dekat. Orang berbadan jangkung itu pelan-pelan mengembara ke dalam lorong yang gelap.

Ini untukmu, Konrad. Kau yang minta. Jadi, dengarkan aku baik-baik. Aku tahu pemuda bernama Konrad itu mengubur banyak sekali tanda tanya setiap matanya melayang ke punggungku, atau ketika aku berjalan di belakangnya sebagai roh pengelana. Konrad yang penasaran itu kini telah sampai pada seutas masa laluku.

Aku tidak berbohong soal identitasku. Namaku Lutz Heydrich. Usiaku berhenti ketika mencapai umur enam belas tahun. Maksudku, itu adalah saat terakhir hidupku. Sepertinya Konrad sudah tertipu. Ia selalu menganggapku seperti anak kecil. Ia hanya melihat tubuhku yang lebih pendek dan kurus dari orang-orang seusiaku. Apakah juga karena sikapku? Ya, mungkin itu juga memengaruhinya. Aku agak kekanak-kanakan. Namun, ketahuilah ada jiwa anak tanggung di dalam diriku.

Aku lahir dari keluarga kelas pekerja. Papaku seorang penambang batu bara, dan mamaku bekerja sebagai pengasuh anak. Aku memiliki adik perempuan, namanya Donna. Ia begitu pendiam dan rajin. Ia sering kali mebantu mama bekerja.

Aku sudah bersahabat dengan lingkungan kumuh dan tak teratur. Aku bahkan main lempar-lemparan sampah dan kotoran ternak sejak masih menyusu. Awalnya, kupikir hidup seperti ini terkesan baik-baik saja. Namun, semakin aku melangkah, dan semakin aku beranjak dewasa, aku mulai sadar bahwa aku terjebak di sudut kemalangan.

Rasa iri membuncah. Apalagi ketika melihat anak-anak sebayaku yang bergembira di jalan-jalan menuju sekolah. Penampilan necis, sepatu mengkilap, dan jinjingan berupa kotak bekal berisi daging domba. Tanyakan kepada anak-anak yang bernasib sama denganku, mereka pasti memimpikan berlian-berlian itu di depan tembok rumahnya yang ringkih.

Betapa aku menginginkan kehidupan anak-anak bersepatu mengkilap itu. Aku mau sebuah rumah yang atapnya tidak ikut-ikutan nangis seperti langit di kala hujan. Lalu, katakanlah ketika aku tengah menghisap batu dan menelan pasir, aku bermimpi di hadapanku tertata daging panggang dan segelas susu hangat.

Semuanya memimpikan hal yang sama. Aku, papa, mama, dan Donna adikku. Yang paling nampak adalah papa. Pria itu ingin sekali diakui sebagai orang mapan. Papa tidak pernah berhenti melirik kehidupan cemerlang saudara-saudaranya. Pada detik berikutnya, papa menampar wajahnya sendiri sebagai hukuman karena dirinya tidak mampu mencapai itu semua.

Papa begitu keras, seperti matanya setiap kali menatapku. Papa sempat menyuruhku untuk terjun ke dunia penambang batu bara. Hanya sebentar, sampai papa sendiri yang menyuruhku berhenti bekerja, karena pekerjaanku ini terendus oleh saudara-saudaranya.

Berita ini berlari begitu cepat, semua mata memandang papa sebagai orang tua gagal karena tidak mampu menyekolahkan anaknya.

Papa ditelan malu. Di saat yang sama, entah kenapa ia malah membenciku. Papa berbalik menganggapku sebagai anak yang gagal. Aku tidak pernah tahu alasannya. Papa sering menganggapku tidak becus ketika bekerja. Ya, setelah berkata begitu, ia mengambil semua uangku.

Karena anggapannya itu, ia menyuruhku berhenti menambang batu bara. Pada keesokan harinya, papa dianggap mengambil tindakan heroik oleh saudara-saudaranya karena memberhentikanku dari pekerjaan melelahkan itu dan menyekolahkanku sebagai gantinya.

Papa melambung tinggi, ia bahagia, tapi hanya sesaat. Ia seakan menyesali perbuatannya memasukkanku ke sekolah ternama di sekitar tempat tinggalku. Pada periode pertama, papa mati-matian bekerja dan berhasil membuatku resmi mendapatkan bangku di sekolah.

Lagi-lagi ia mendapat perhatian dan pujian dari saudara-saudaranya. Namun di balik semua itu, papa mengeluh. Ia kebingungan bagaimana dengan biaya sekolah pada periode berikutnya. Ya, aku tahu saku celana papa kosong.

Selama masa awal sekolahku, aku mendapat banyak hal baru. Pengetahuan adalah hal yang menarik. Di sekolah aku mempelajari karya-karya literatur, setidaknya itu yang paling aku sukai.

Namun, akhirnya kegemaranku berselancar di dunia baru ini mulai terdistraksi. Anak-anak itu dihadapkan kepadaku dengan segala keangkuhannya. Aku tidak tahu mengapa aku tidak begitu disukai. Ini adalah alasan yang sepele. Semuanya karena penampilanku yang berbeda dengan mereka.

Aku tahu, mereka memang dibesarkan di keluarga mapan yang bahkan tidak perlu memikirkan besok makan apa. Ujung jari mereka tidak kotor dan rusak karena menambang batu bara. Semuanya diperparah ketika mereka mulai mengganggu dan menguntit sampai ke depan pemukimanku. Mereka tidak suka dengan rumahku dan penampilan Donna ketika ia sedang bermain dengan boneka jerami.

"Keluarganya begitu lusuh. Ia tidak pantas berada di sekitar kita!" Itu ucapan mereka.

Aku dikerjai habis-habisan oleh mereka. Di sela waktu sekolah, mereka akan melempariku dengan cacian. Anak-anak bisa begitu jahat. Mereka bisa berubah menjadi kaum penindas yang keji. Meludahi seseorang beramai-ramai adalah peristiwa yang menjijikan. Lebih buruknya lagi, hal itu benar-benar menimpaku.

Semakin lama hal itu membuatku muak. Aku tidak bisa lagi menganggap hal itu sebagai tindakan main-main. Kupikir tidak ada yang bisa membantuku. Semua orang, bahkan seorang guru bisa bersikap abai terhadap hal ini. Pada masa ini, aku benar-benar merasa sendirian.

Perundunganku tidak hanya di sekolah, ini akan menyedihkan jika tahu bahwa papa suka sekali melakukan hal yang sama. Papa tidak pandai mengendalikan amarahnya. Dalam suatu waktu, aku bisa saja menjadi sasaran tinjunya hanya karena ia tidak memenangkan taruhan.

Aku mulai berpikir, dunia ini memang tidak aman lagi untukku. Apakah aku pernah melakukan kesalahan sehingga ini ganjarannya? Rasa-rasanya, alur hidupku semakin hancur. Apakah tidak ada tempat yang membuatku tidur nyenyak sebentar saja?

Tidak ada hiburan di kala suntuk. Dunia ini menyodorkanku begitu banyak bangkai busuk. Emosi papa yang tidak terkendali membuat hari-hariku semakin berat. Ia tidak pernah merasa cukup dengan kenyataan bahwa aku berhasil menduduki bangku sekolah. Itu semua tidak cukup untuknya. Ia tidak akan memaafkanku ketika aku gagal dalam satu pelajaran.

Aku tidak berguna, aku tidak akan mengeluarkan keluarga kami dari kondisi terpuruk ini, itu ucap papa. Kemudian ia akan melayangkan tangan dan tendagannya kepadaku.

Pernah satu kali aku menjadi sosok pengadu. Kuceritakan kepada mama suatu kejadian ketika papa menimpukku dengan tutup kaleng cat. Pada awalnya, kupikir menjadi sosok pengadu bisa menjadi kunci keselamatanku. Namun nyatanya, perlawanan kecil-kecilanku tidak membuahkan hasil. Aku malah menyaksikan mama mendapat banyak hantaman di wajahnya setelah ia membelaku.

Kini aku tahu, lebih baik kusimpan saja kisah-kisah sialan ini. Aku tidak mau mengundang celaka untuk mendatangi orang tersayangku. Papa yang membuatku bersumpah untuk tidak buka mulut. Baiklah, aku adalah anak yang baik. Aku begitu penurut, dan aku bukanlah pelanggar janji. Penekanan papa membuatku patuh dan bersenandung riang seakan dunia yang hancur itu tidak pernah ada.

Itu yang papa harapkan dariku. Pergi ke sekolah, belajar, mendapat nilai-nilai yang bagus, beranjak dewasa, dan sukses. Terdengar sangat mudah. Namun, pada kenyataannya, hal itu merupakan narasi yang hanya mampu bergema di kepalaku. Biaya pendidikanku semakin membengkak. Finansial morat-marit, hidup semakin melarat.

Aku memang selalu menginginkan kehidupan anak-anak di sekolah. Angan-anganku dipenuhi dengan kehidupan menakjubkan, tapi semua yang terjadi tidak seindah bayanganku.

Ketika Papa mulai kebingungan dengan biaya sekolahku, ia mulai menyalahkanku atas semuanya, atas kemelaratan yang semakin menjadi. Bahwa ini semua salahku, karena aku tidak pandai bekerja dan juga tidak pandai di sekolah. Aku hanya menghabiskan uang, itu ucapnya.

Aku mulai mempertanyakannya. Apakah ini memang salahku? Kupikir aku meredam semua perundungan di sekolah dan berusaha sebaik mungkin memahami ajaran yang kudapat di sana, tapi menurut papa aku tidak pernah melakukan yang terbaik, ia tidak pernah puas dengan pencapaianku.

Papa memang membingungkan. Aku tidak tahu hal apa yang benar-benar membuatnya marah. Semuanya terkesan percuma, bahkan ketika aku telah berusaha menjadi anak yang taat.

Lengkap sudah, hidupku memang berantakan. Ini adalah material yang bagus untuk membangun karakter penuh nestapa. Konrad, pada saat itu kupikir aku telah mencapai bagian terburuk dalam kehidupanku. Dulu kupikir porsi ketidakberuntungan itu sudah cukup dalam menghabisi masa mudaku. Namun, nyatanya tidak demikian. Bagian terparahnya adalah ketika aku tahu itu semua belum berakhir.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang