“Aku selalu mengenalmu,” ucapnya. Ia sudah lama berada di sini. Kesaksiannya agak meragukan jika aku pikirkan lagi. Identitasnya cukup asing sampai aku memasuki tempat ini. Tidak ada akses untuk keluar, diriku pun sudah lama tidak ada yang mengenal. Namun, jika aku lihat usianya, mungkin rentang waktu masa kecil kami tidak berjauhan.
“Setiap akhir pekan, aku dan saudariku berjalan-jalan ke kota. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari bioskop. Hampir semua kursi bioskop sudah pernah kami duduki. Saudariku selalu menyisakan moster ke kursinya, itu sebabnya kami tahu. Kami akan tertawa sampai perut kami sakit.”
Pria yang terlihat bahagia, atau bagaimana ia harus disebut. Sebuah ketidaksesuaian dengan sampah-sampah yang berkeliaran. Lengkungan kawat berduri dan dinding abu-abu yang mengenaskan. Beberapa terpapar vandalisme, pilok hitam dan kemelut dari manusia yang mengutuk Tuhan. Anjing gembala Jerman bersahutan, tidak ada kesempatan untuk burung gereja yang sekedar mampir dan pergi lagi ketika tanah bergetar.
Entah kenapa ia sempat mengingat masa lalunya, ketika hanya anak kecil bau matahari yang merindukan corak baju saudarinya. Atau penyebutannya yang sesuai sebagai anak dari keluarga menengah yang bahagia. Sebuah bioskop, dan moster yang mengerak. Sekarang ia tersenyum bagai seorang yang bersih, bukan kriminal yang menembak mati seorang kasir.
“Dan film akan dimainkan. Film hitam-putih dengan suara gaduh di belakangnya. Bioskop yang sumpek, bau pekerja yang mau menghibur keluarga kecilnya, dan panas yang menyengat. Kami sering kali kehabisan uang saku, harusnya untuk beberapa hari ke depan, tapi kejahilan kami membuat uang itu ditukar dengan tiket. Sebuah film yang hanya dimengerti saudariku. Persetan dengan itu! Aku hanya ingin menemaninya pergi, itu pesan ayah kami.”
Tidak ada gigi yang mengering. Selalu saja ia mengatup bibirnya dan membukanya lagi untuk seringai lainnya. Mata biru berkeringat dan kepala plontos, kuku menghitam dan gigi depan yang patah. Seseorang bernama Uwe dan karakternya yang membingungkan.
“Seorang anak ada di sana. Seorang anak dengan baju pelaut. Sepatu mengilap yang selalu disemir oleh pembantunya. Sebuah kursi beludru dan bantalan. Sebuah peran kecil dan dialog yang tidak seberapa, tapi binar-binar di matanya membuat saudariku terpaku. Pemeran pendukung yang tidak pernah ia lupakan, dan ia selalu mencarinya di dinding bioskop. Papan film klasik, wajah anak pelaut ada di sana. Dan setelahnya aku ketahui, saudariku sangat mengaguminya.”
Uwe tanpa sebab yang aku mengerti menyiratkan haru, padahal dirinya tidak terkenal dengan gambaran seperti itu. Seorang tukang pukul dan penyelundup, terkadang rokok mahal atau ekstasi, tapi kini dikalahkan dengan kenangan masa kecilnya.
Di saat itu aku terdiam. Terpandang kawat-kawat besi yang membatasi hamparan aspal di sana. Turut bergoyang ketika seseorang menabraknya dengan ceroboh. Kemudian lagi-lagi anjing gembala Jerman akan menggonggong.
Upayaku mengabaikan Uwe bukanlah keberhasilan. Aku hanya ingin melupakannya, meskipun masa lalu tidak bisa dilenyapkan. Jejakku ada di mana-mana.
Ketika aku muda, aku yakin sekali aku sudah berubah. Aku adalah sosok baru yang bebas. Namun, orang-orang seperti Uwe akan selalu ada. Orang yang berat hati melupakan masa kecilnya, walaupun hanya bioskop dan kejahilan saudarinya, sisa moster dan papan film yang membuatnya mengenalku.
“Di peran terakhirnya ia sudah cukup besar. Dewasa tanggung seperti aku, atau mungkin lebih muda beberapa tahun dariku. Saudariku masih sama, selalu menyukai bocah pelaut itu. Terkadang ia mengulang rekaman film untuk dirinya sendiri, melihat ulang bocah pelaut kesukaannya. Film-film baru tentangnya keluar, tapi saudariku lebih menyukai film lama dengan bocah pelaut yang masih belia. Aku tidak pernah memahaminya, itu adalah orang yang sama, tapi saudariku bilang bahwa si bocah pelaut tidak lagi sama. Di usianya yang bertambah dewasa, tidak ada lagi gairah dan ceria yang terpampang pada wajahnya. Bocah pelaut yang manis itu menjadi kelam, menjadi seseorang berwajah tirus dan pucat. Mata layu dan kosong, seakan hari esok adalah kematiannya dan ia menerima itu dengan baik.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Детективи / ТрилерKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...