Bab 56 | Jejak Rudolf: Membangun Teater

17 6 0
                                    

“Menyedihkan! Benar-benar menyedihkan!” Teriakan yang begitu lantang. “Dunia yang dipenuhi kekejaman. Sekali lagi hadir di sekeliling kami, sebuah kehinaan moral yang menjangkit seperti virus. Tindakan yang tidak terpuji itu mencoba bermain-main denganku, dengan kami, dengan hukum yang berlaku. Neraka dunia, itu pantas sekali didapatkan!”

Kami tertunduk di bawah tekanan dari pandangan itu. Terlihat angkuh, menganggap kami tidak bermakna. Seakan tidak ada lagi kisah tentang siapa kami. Hanya orang-orang buangan, tidak lagi dianggap bagian dari masyarakat. Itu yang bisa aku baca dari sana, setiap sipir yang saling menutupi satu sama lain.

Seorang yang ditinggikan berada di hadapan kami. Berdiri sendiri, sementara para narapidana terduduk dan membentuk barisan, menyandarkan puncak kepala kepada punggung di hadapan.

Sedikit saja kepala terangkat, ketika sebuah karung mendarat dengan kasar di depan. Ia memandangi kami sekali lagi dengan wajah yang condong ke depan. “Apa ini? Apa yang ditemukan? Tidakkah seseorang ingin menjadi lebih baik, kembali menjadi bagian dari masyarakat yang terpuji? Alih-alih demikian, hal-hal mengerikan ini yang dipilih!” Ia melempar telunjuknya kepada karung itu.

Ikatannya terbuka. Talinya terlempar sampai ke langit-langit. Kami saling tengok, mengenali wajah satu sama lain dengan kebingungan, bercampur satu dengan rasa takut.

Bisik-bisik memenuhi udara. Tergambar wajah-wajah yang kaku, merasakan takut paling besar daripada yang lainnya. Meledak, kemudian bertambah besar ketika perkakas itu dipertontonkan. Pemecah batu, parang, tali tambang, palu dan linggis.

Gemetar menjalar dari sosok di sebelahku. Jonas Eimer merapatkan giginya tanpa celah. Sebuah kegagalan menyembunyikan alat-alat itu di dapur. Ia sangat ketakutan, kemudian menggigiti ujung jari sampai berdarah.

“Alat-alat itu sudah berada di tangan kami. Namun, mereka tetap melakukan pelarian itu. Memanjat gerbang, percaya diri tanpa alat-alat yang sudah mereka kumpulkan.” Kepala sipir menyeringai. “Tertangkap basah. Tidak sadar kami sedang tertuju pada mereka, mencari tahu siapa pemilik alat-alat itu. Bahkan kami tidak harus berusaha, mereka menunjukkan diri dengan senang hati. Ah, mereka kembali ke sel seperti anak yang tidak diizinkan main oleh ibunya!”

Kepala sipir tertawa. Ia menoleh ke balik punggungnya, menyaksikan sipir-sipir yang ikut merasakan jenaka itu. Sementara para narapidana terdiam dalam gemetar.

“Tunjukkan wajah kalian, akui kesalahan itu. Sekarang, di sini, berdiri, dan aku akan mengampuni. Tunjukkan bahwa kalian masih pantas berada di masyarakat. Bukan sampah, melainkan sosok yang ingin dikenang kisahnya,” ucapnya lantang. “Berdiri!”

Tidak ada yang berkutik. Tidak ada yang berani menunjukkan diri. Kepala sipir terus melirik, bertolak pinggang sambil memandangi kami.

“Tidak ada?” tanya kepala sipir. “Aku sudah tahu siapa nama-nama itu. Kenapa masih bertahan di sana? Merasa malu?”

Tiga menit, lima menit, tujuh menit, sampai sepuluh menit, hanya diisi sunyi yang mencekam. Tidak ada yang mengaku. Keheningan yang membuat bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah pernah melakukan kesalahan? Apakah secara tidak langsung terlibat? Apakah kemurkaan itu juga akan didapatkan? Apakah bersalah?

Langkah yang begitu kasar terdengar. Menggema, membuat para narapidana menutup telinga. Menoleh ke sana dan ke sini, menunggu siapa yang dicari.

Tibalah mereka di sana, kepada orang-orang yang nomornya aku ingat. Sosok-sosok yang meringkuk sejak awal. Pemilik perkakas, pemilik rencana pelarian. Orang di sebelahku--Jonas Eimer--diseret dengan kasar bersama dua rekannya.

Jeritan, perlawanan, semuanya membuat kami memandang dengan miris. Mereka ditundukkan di hadapan kami. Dengan wajah penuh sesal, takut, dan kesedihan. Si kepala sipir berjalan ke arah mereka. Diangkatnya wajah-wajah itu.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang