Bab 32 | Bilik-bilik Toilet

28 8 0
                                    

Aku dipanggil ke ruangan konseling pada akhir waktu sekolah. Aku memenuhi panggilan itu, dan aku datang untuk ruangan yang kosong. Tidak ada seorang pun di sana. Permukaan meja dipenuhi buku-buku. Kulihat papan nama di sana, tertulis nama Katarina Schlegel. Aku menghampiri kursi dan terduduk di atasnya. Aku memandangi jarum jam dalam waktu sepuluh menit, dan itu tidak menghasilkan apa-apa. Nyonya Schlegel tidak kunjung datang.

Lutz ikut bersamaku. Ia menduduki kursi yang seharusnya diduduki sang guru konseling itu. Ia berputar-putar dan memainkan roda kursi sambil tergelak. "Hei, Konrad," Lutz memanggilku di tengah kesibukannya. "Setelah melihat keadaan ibumu, kau masih ingin mati?" tanya sosok itu. Mendengarnya aku menundukkan kepalaku. Perlahan aku memikirkan kembali keinginanku itu. Mati? Benar, apa yang akan aku dapatkan jika aku mati? Tidak ada yang menjamin jika mati membuatku keluar dari kemelut duka. Meskipun begitu, pintu kematian tidak pernah berhenti memanggilku. Rasanya ada seseorang di dalam sana yang mengundangku ke dalam pestanya.

Melihat Verbinsky, aku berpikir seorang berandalan mampu mengantarkanku ke sana. Tidak dengan tanganku sendiri. Aku tidak mampu. Katakanlah aku seorang pengecut yang mengharapkan kematian tapi tidak mampu mencabut nyawanya sendiri. Nyatanya, aku terlalu takut dengan kematian. Aku turut menyadari adanya perasaan mengganjal ketika pisau itu sejengkal lagi menuju leherku. Ada gejolak dari dalam diriku. Seakan sesuatu menjerit dan menolak kematian itu. Di saat itu aku tahu ada suatu hal yang masih menahanku.

Apakah itu kau, Kaspar? Apakah ia yang menolak kematianku? Aku selalu merasa ia mengambil alih diriku pada saat-saat tertentu. Ia bersembunyi di dalam tubuhku dan mulai mengendalikanku dari sana. Aku tahu, ia mulai mengikutiku. Ia tidak seperti Lutz yang secara gamblang berinteraksi denganku. Kaspar begitu tersembunyi. Semerbak amis selalu tercium ketika ia hadir. Kini aku mengendusnya. Bau yang sangat menyedihkan, bau penderitaan yang terbungkam. Sosoknya terlihat dari pantulan kaca di figura. Ia memandang dari balik punggungku. Mata birunya seakan menyala di tengah wajahnya yang berlumuran darah. "Apa yang kau inginkan dariku?" tanyaku. Tidak kudengar sepatah kata saja darinya. Kaspar tidak menjawab.

Aku ingin sekali melihat wajahnya. Andai saja aku bisa menggapainya, aku akan menyingkirkan lumuran darah di wajahnya. Aku ingin tahu siapa sosok itu sebenarnya. Aku ingin melihat seperti apa wajah orang yang bersedih itu. Atas dasar itu aku membalik badanku. Apa yang kuharapkan adalah ia tetap berdiri di sana. Namun, ia tidak ada. Kaspar menghilang begitu saja, buyar menjadi debu ketika aku ingin menghadapinya. Aku terdiam dan menyandari kursiku. Kucari sosoknya di seisi ruangan. Kuperhatikan setiap benda yang memantulkan bayangan, tapi Kaspar tidak kunjung terlihat. Sosok itu menghilang ketika aku ingin menghadapinya.

Ketika aku membalik tubuhku, sepasang mata terlihat memandangiku dari celah pintu. Ia menyeringai ketika aku turut menangkap sorot matanya. Tidak lama setelah itu ia memalingkan wajahnya dan beranjak dari sana. Aku mengernyitkan dahi, dan segera menghampiri celah pintu. Di luar terlihat kosong. Di ujung lorong, kulihat bayangan seseorang yang berjalan menuju balik dinding. Derap langkah pun menyertainya. Aku meninggalkan ruang konseling untuk mengikuti langkah kaki itu. Mataku menangkap sekelebat pergerakan dari sana, hingga akhirnya derap langkah itu memasuki toilet dan ia mengunci pintunya.

Aku mengintip ke dalam toilet. Satu bilik terkunci dengan bayangan kaki di bawahnya. Aku memasuki bilik di sebelahnya, mengunci pintu dan terduduk di kloset. Belum kudengar sepatah katapun dari sosok itu. Hingga akhirnya aku terkejut dengan tangan yang tiba-tiba muncul dari bawah pembatas bilik. Aku meremas bajuku, jantungku berdegup kencang. Sekotak Lucky Strike dan pemantik api keluar dari bilik sebelah. Aku bernapas lega. Aku langsung mengambilnya sebatang dan menyalakan pemantik api. Ia langsung menangapi ketika tanganku mengoper pemantik api kembali ke biliknya. Aku terdiam cukup lama hingga akhirnya ia mulai berucap kepadaku, "Belum mati juga?" tanya orang itu. Aku tertawa, sekarang aku yakin siapa dia.

Der SchmetterlingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang