Hidup sebagai kaum muda yang dianggap tidak berguna begitu mengikis kesabaran. Papa semakin menjadi dengan trisula dan murka, mencabik angan-angan indah umur belia. Aku tidak merasakan kisah indah yang terlampir di ujung koran tentang pemuda yang berbunga-bunga. Siapa yang bisa aku salahkan atas semua ini?
Aku tersesat di dunianya para pemburu. Aku berlari seperti rusa yang menunggu peluru bergulir di dalam nadinya. Di tengah tatapan kosong menjelang senja, aku mencari takdir baik yang sedang berkecimpung di antah berantah. Tidak kutemukan barang sehelai pun. Ia memang tidak sudi, si keberuntungan itu enggan mengetuk pintu rumahku.
Kini sekolahan tidak memikat lagi. Baunya sudah berubah, ukiran di dalam memoriku mengatakan bahwa sekolahan adalah sarangnya kekejaman anak-anak dan guru yang abai. Aku kehilangan nilai-nilaiku dalam kajian karya literatur. Puisi tentang keindahan surgawi dan barisan diksi romantis itu berubah menjadi omong kosong.
Papa menyilangkan tangannya di dada, ia geram. Tentu berita itu sampai kepadanya. Tentang kebodohanku di sekolah dan betapa pecundangnya diriku membakar sumbu di kepalanya. Papa marah, kekelamannya menghujaniku tanpa henti.
Perlahan kugulirkan mataku ke arahnya. Ia menghujatku dalam diam. Tatapanku tertangkap dan ia menguncinya. Sebongkah balok kayu ia ambil dari balik rongsokan di tepi sungai. Tiap sudutnya lembap, dilahap gelap dan runcing.
Kerah bajuku berkerut, Papa mencengkramnya kuat-kuat. Kelopak mataku mengedip tidak sanggup menatap bongkahan kayu di atas kepalaku. Papa menahan terjangannya, ia membiarkan balok kayu itu melayang di atas dahiku.
"Kau sadar? Kau telah gagal. Kau menyia-nyiakan kebaikan hatiku," ujarnya.
Aku membuka mataku. Balok kayu itu masih belum menghantamku. Aku menutupnya lagi dan membukanya beberapa saat kemudian. Kulihat benda itu masih berada di genggaman papa tanpa melukaiku sedikitpun.
Papa ingin sekali memukulku dengan itu. Sejak tadi matanya mempertontonkan luka yang akan terbentuk di dahiku jika balok itu mendarat tepat di atasnya. Namun tidak, ia tidak benar-benar melakukan itu. Papa menjatuhkan baloknya ke tanah dan menarik kerah bajuku sekali lagi.
"Apa yang akan mereka katakan kepadaku, Lutz? Tentang betapa payahnya dirimu yang menyebabkan aku ikut kena batunya. Kebodohan membuatmu menjadi sosok tidak berguna. Kau hanya mengeringkan kantongku tanpa hasil yang berarti."
Papa melepas cengkeramannya. Pundakku terhempas. Ia melangkahi bebatuan di balik sepatunya. Ia tertunduk, kemarahannya luntur digantikan dengan riak nestapa.
"Apalagi yang harus kulakukan? Aku sudah kehilangan semuanya. Angan-anganku sudah lama mati. Bahkan anakku sendiri tidak bisa menghidupkannya lagi," bisiknya.
Hari ini tidak ada bekas lebam di wajahku. Entah kenapa aku merasa aneh dengan itu. Papa meninggalkanku begitu saja dengan sunyi dan suara halus dari sungai. Ia tertunduk sepanjang langkahnya. Hingga figur tinggi tegap itu menghilang di balik pepohonan.
Aku tidak lagi pergi ke sekolah sejak hari itu. Papa yang memutuskannya. Papa menjadi sangat pasif. Tidak pemarah seperti biasanya, ia hanya terdiam ditemani dengan cerutunya. Ia membiarkanku menganggur di rumah, dan ia tidak memprotes tindakanku yang lebih tidak berguna dibanding menjadi pecundang di sekolah.
Aku mengembara sepanjang hari ke tengah kerumunan orang di pasar atau memerhatikan kesibukan di tengah kota. Sampai suatu hari aku ketumpahan ide dan membawa perangkat semir sepatu ke tengah kota yang dipadati tuan-tuan bersepatu kusam, atau di hari lain aku kembali ke pasar dan menemukan nona-nona muda yang kesulitan mengangkat balok berisi telur atau sekarung tepung gandum. Setidaknya aku mendapatkan koin-koin yang akan menggericik di sakuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
غموض / إثارةKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...