Pintu rumah Heinz yang telah ringkih itu terbanting akibat kedatanganku yang tergesa-gesa. Pria itu langsung memunculkan kepalanya dari balik dinding. Ia memandangiku dengan gelisah begitu melihatku berlari ke arah wastafel. “Ada apa? Kenapa kau tergesa-gesa?” tanya Heinz.
Air keran mengucur dengan deras. Kedua tanganku terlalu sibuk menadahi air, tidak kunjung aku hiraukan pria berkacamata bundar itu. Lantai rumahnya bergetar, Heinz turut tergesa-gesa ke arahku. “Ada apa, Konrad?” tanya ia sekali lagi.
Air memenuhi tanganku. Aku melemparkannya ke wajahku. Rintik-rintik air membasahi kerah baju sampai ke dada. Aku terlihat menyedihkan dengan penampilan basah kuyup. Lagi, aku menampung air dengan kedua tanganku. Air pun terlempar ke wajahku lagi.
Tubuhku terguncang, tiba-tiba berbalik ke arah Heinz dan wajahnya yang gusar. Mulutnya tampak berkomat-kamit kepadaku. Gemercik air memenuhi pendengaranku, benar-benar membuat suaranya lenyap. Aku hanya termenung memandangi mulutnya yang tidak henti-hentinya berseru.
“Konrad!” Suara menggelegarnya membuat derasnya air keran teralihkan dariku. “Kenapa kau terlihat ketakutan?” Ia mengangkat kedua tanganku ke hadapan wajahku sendiri, membuatku menyadari bahwa tanganku bergetar hebat. “Apa yang menakutimu?” tanya Heinz lagi.
“Wajah siapa yang kau lihat, Heinz?” tanyaku.
Heinz terlihat kebingungan dari sorot matanya. Ia terbelalak dan berulang kali lirikannya berputar-putar di wajahku. “Kau ini bicara apa?” ucapnya.
“Lihat wajahku! Lihat wajahku! Apakah wajah anak yang bersedih itu yang kau lihat? Apakah wajah Konrad Schröder yang kau lihat? Ini adalah wajah yang asing, wajah dari medan perang yang baunya anyir! Ini adalah wajah Volker!”
“Volker? Siapa yang kau bicarakan?” Heinz terlihat keheranan dengan gelengan kepalanya. Semakin lama ia kelelahan menanggapiku yang tidak kunjung berhenti berteriak. “Bicaralah setelah dirimu tenang, tolonglah!” Ia hendak menarikku menuju kursi.
“Tenang? Di saat-saat ini kau mengharapkanku untuk tenang? Lihat aku! Lihat aku! Ia sedang mengambil alih diriku! Aku tidak mau terluka, Heinz! Aku tidak mau wajahku digerogoti belatung-belatung itu!”
Pundakku naik-turun tidak beraturan. Perasaan bingung yang bercampur dengan amarah tidak mau pergi dari kendali atas diriku. Heinz menghela napasnya, sekali lagi bersabar menghadapi keponakannya yang bermasalah. Ia perlahan mendekatiku dan meletakkan kedua tangannya di wajahku. Ia menggerakkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Matanya menyisir setiap bagian wajahku.
“Hidupnya memang berat, tapi ia mampu bertahan sejauh ini. Ya, ya, wajahnya terlihat lesu dan menyedihkan. Ia punya sisa-sisa lebam akibat pertarungan jalanan tempo hari, tapi aku tidak melihat ada belatung yang menggeliat. Ini bukan wajah Volker, yang bahkan aku tidak tahu siapa orang itu, melainkan wajah Konrad, keponakanku yang sudah besar!”
Seketika mulutku terbungkam. Aku mulai mempertanyakan kewarasanku. Maksudku, aku ini tidak gila, ‘kan? Bukankah yang aku lihat tadi nyata? Ya, bahkan Tuan Elbert melihatnya! Aku ingin sekali meragukan Heinz, tapi wajahnya begitu tenang dan menarik rasa percayaku.
Aku mengangkat tanganku lagi, meraba-raba wajahku yang kini terasa baik-baik saja. Tidak ada lagi daging yang membusuk dan geliat dari binatang pengurai.
“Tidak ada wajah yang hancur? Tidak ada belatung?”
“Tidak! Lagi pula kenapa wajahmu harus hancur dan dipenuhi belatung? Apakah ada sesuatu yang terjadi padamu?” Heinz menaikkan kedua alisnya, menatapiku untuk sebuah kejadian mengerikan yang kini terdengar tidak masuk akal bagiku. “Tidak, ‘kan?” lanjutnya.
Tubuhku terjatuh dengan pasrah ke lantai. Mataku terpaku kepada langit-langit dan mulai merasa kebingungan sendiri atas apa yang menimpaku. Tidak ada luka, wajahku baik-baik saja, tidak pernah berubah. Apa yang kami lihat--aku dan Tuan Elbert--hanya tipuan dari entitas itu. Unjuk gigi, bukankah itu yang ia sukai? Sosok itu hanya ingin kami tahu bahwa ia ada, apalagi setelah kami menyinggung kisahnya berulang kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Mystery / ThrillerKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...