"Kau baik-baik saja?" tanya Isabella.
Aku pun terdiam. Kedatangan Markus menghancurkan sebagian keinginanku untuk tetap berbahagia. Padahal kini gadis itu berjalan tepat di sebelahku. Bukankah seharusnya aku menyambutnya dengan suka cita?
Aku tersenyum tipis dan menganggukkan kepalaku. Ia terdiam, keraguan begitu melekat padanya hari ini. Aku menyesali itu, apakah aku baru saja merusak hariku sendiri? Atau mungkin harinya juga?
Tanganku tekepal dengan erat, menyisakan warna putih di ujung-ujung kuku. Aku benci sekali. Ucapan Lutz sekarang terasa benar, berulang kali aku gagal meraih kebahagiaan itu.
Isabella menepuk pundakku. Sekali lagi ia menyadarkanku dari kekacauan pikiran. Aku menggenggam tangan itu dan membawanya turun dari sana. Ia terdiam dan terus memerhatikan tangannya di genggamanku.
"Kenapa kau ingin berteman denganku?" tanyaku. Isabella terdiam beberapa saat, dan ia kembali melihatku tanpa jawaban apapun. "Aku bukan orang yang baik," ucapku lagi.
Tersisa kesunyian di antara kami. Bahkan gadis itu terdiam seribu bahasa. Tidak dapat dipungkiri jika ia memiliki gejolak di pikirannya sendiri. Ia hanya menunduk, memerhatikan langkah kakinya yang terus membersamaiku.
"Aku tidak bisa berkata apapun tentang dirimu. Kita hanya perlu saling melihat lebih lama lagi," ucapnya. Ia pun kembali memandangi langkahnya.
Pada akhirnya kami terhenti tepat di depan pintu rumahku. Aku mengeluarkan kunci dari saku celanaku. Namun, kunci itu tidak bekerja dengan sewajarnya. Ada sesuatu yang ganjil, gagang pintu menjadi membingungkan. Aku berulang kali memutar kuncinya, tetapi pintu itu telah terbuka sejak awal.
Jika aku berkaca pada hari-hari kemarin, seharusnya tidak seorang pun yang tinggal pada waktu ini. Aku membuka pintu rumahku, dan tidak kutemukan seorang pun di dalamnya. Namun, terlihat tanda-tanda kehadiran yang tersisa. Lingkaran air di atas meja, dan buku-buku yang tergeletak di lantai.
Aku masuk lebih dalam lagi, menuju dapur dan menemukan tirai yang terlepas dari bingkai jendela. Kait-kait kecilnya menggantung tidak beraturan, membiarkan tirainya menyelimuti pojok lantai.
Aku mengintip keluar jendela itu, dan kusaksikan halaman belakang rumah yang tidak lagi sepi. Pot-pot tanaman Ibu, garpu taman, dan sesuatu yang seharusnya tidak di sana. Mobil Ayah terparkir, dan pagar terbuka begitu lebar.
Isabella berdiri tepat di belakangku. Raut wajahnya turut bertanya-tanya melihat keherananku.
"Duduklah di ruang depan, Isabella. Aku akan memeriksa sesuatu," ucapku.
Gadis itu mengangguk dan meninggalkanku sendirian di dapur. Aku melangkah dengan pelan untuk mencari sosok yang meninggalkan mobilnya di halaman belakang. Aku menelusuri tiap bagian rumahku, gudang-gudang dan ruang di bawah tangga. Pecahan beling berceceran. Lantai dipenuhi kekacauan.
"Ibu? Ayah?" panggilku. Namun, tidak seorangpun yang menjawab. Aku menaiki anak tangga perlahan sambil memerhatikan seisi rumah. Jantungku berdegup kencang, semakin terdengar ketika lorong semakin sepi.
Kekhawatiran begitu memuncak. Gigiku saling beradu ketika aku mencoret-coret kemungkinan di kepalaku. Jari-jariku terhenti di permukaan dinding. Aku meraba robekan yang merusak kertas pelapis warna-warni itu.
Ini sebuah keburukan, rasanya semakin tercekik. Aku mengintip ke dalam kamarku yang satu-satunya dengan pintu terbuka. Kutemukan ia di sana, dengan kunci mobil yang masih tergantung di sakunya dan salinan kunci rumah di atas nakas.
Aku tidak berkutik, padahal ribuan pertanyaan berusaha mendobrak mulutku. "Untuk apa semua kekacauan di bawah?" pikirku, tetapi enggan kukatakan.
"Oh, Konrad," sapanya. Ayah berdiri di sisi mejaku, ia terlihat membuka halaman buku satu per satu. Ia tersenyum lebar dan tidak sedikitpun mengalihkan matanya dari buku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Der Schmetterling
Mystery / ThrillerKonrad Schröder, seorang remaja tanggung yang tinggal di sudut kota Berlin. Kekerasan, pertengkaran orang tua, dan perginya figur ayah membuat hidup pemuda itu dihantui kekelaman. Suatu hari seorang bocah misterius mendatanginya, mengaku dirinya ada...