Fiveteen

18.5K 2.1K 36
                                    

***

Remang remang cahaya memasuki indra penglihatan nya. Bau obat obatan tercium olehnya, bahkan dalam keadaan setengah sadar pun ia sudah tahu ada dimana.

Ia menggerakan jarinya yang terasa berat. "Rachel, lo sadar."

Rachel berusaha memulihkan kesadarannya. Ah, yang pasti ia tahu bahwa tangannya tengah di genggam saat ini.

"Panggil dokter."

Rachel menggerakkan kepalanya, ia sedikit pusing. Arthur, orang pertama yang ia lihat saat kesadarannya sudah pulih. Ia kini tengah menatapnya dengan khawatir.

"Lo mau minum?" Tawarnya. Rachel mengangguk lemah, ia berusaha bangkit, tetapi ia masih terlalu lemah untuk bangkit sendiri. Akhirnya Arthur membantunya.

Setelah rachel terduduk, Arthur segera memberinya minum. Rachel meneguk air itu dengan pelan. "Kenapa gue disini?" Tanyanya.

"Lo pingsan di toilet." Ucap Arthur.

Rachel kembali mengingat, ia menggigit bibirnya kesal. Penyakit nya itu terbawa. Sebenarnya hanya dia yang tahu akan penyakitnya, entah apa nama penyakit itu. Ia tak pernah di cek ke dokter. Yang ia tahu, ia selalu merasakan sesuatu dengan berlebihan. Jika sedih, ia akan merasa sangat sedih, jika bahagia ia akan merasa sangat bahagia, jika lelah ia akan merasa sangat lelah, jika takut ia akan merasa sangat takut. Seperti itulah yang dirasakannya.

Cklek.

"Kamu ini tidak bisa di kasih tahu ya rachel." Ucap sosok pria paruh baya yang baru saja memasuki ruangan bersama sosok rean.

"Dokter Albert?" Tanya Rachel memastikan.

"Ya, kamu lupa kamu harus sering cek up. Ini jadinya jika kamu tidak sering cek up." Ucap Dokter Albert menasehati Rachel.

"Bisa kasih saya ruang sebentar? Saya ingin memeriksa nya." Ucap dokter Albert pada Arthur. Meskipun enggan, Arthur terpaksa mundur kebelakang. Ia berdiri di dekat rean.

"Dok. Ini bukan karna saya gak pergi cek up." Ucap rachel pelan. Ia tak ingin kedua manusia yang sedang menatapnya dengan pandangan yang berbeda itu tau.

"Saya tahu, mangkanya kamu harus sering berkunjung kesini. Kamu harus di periksa secara keseluruhan caramel." Ucap dokter Albert pelan. Tentu saja percakapan mereka ini tak di dengar, karna itu sangat terdengar seperti bisikan.

"Kenapa saya harus di periksa?" Tanya caramel heran.

"Saya ingin memeriksa psikologis kamu." Ucap dokter Albert. Caramel terdiam, ia mulai merasa cemas.

"Jangan cemas, hanya di periksa saja. Jangan takut, kamu bisa kesini sendiri atau dengan orang lain. Itu tergantung kamu, siapa orang yang kamu percayai nanti, ia pasti akan menerima kamu." Ucap dokter Albert.

"Si rachel lagi bicarain apa si, ko bisik bisik?" Tanya rean pada Arthur. Arthur menghendikan bahunya tak tahu.

"Apa si rachel lagi godain dokternya lagi." Duga rean. Arthur langsung memandang rean tajam, detik itu juga rean menutup bibirnya rapat.

Dalam hati ia berbicara. Kaya nya bener si rachel udah bikin Arthur balik sama dia. Ini gak bisa di biarin.

"Rachel kecapean. Ia harus beristirahat dengan baik, pola makan harus dijaga. Dan sering sering cek up ke sini." Ucap dokter Albert setelah selesai memeriksa Rachel.

"Tolong jaga rachel, dia sedikit keras kepala. Ingatkan dia untuk cek up nanti." Ucap dokter Albert pada keduanya.

"Obatnya sudah saya siapkan di ruangan saya. Siapa yang akan mengambil?" Tanya dokter Albert.

"Saya saja dok." Ucap rean. Ia tak mau jika harus berduaan dengan rachel disini. Ia tak sudi.

"Ya sudah ayok." Keduanya keluar. Menyisakan rachel dan Arthur disana.

Hening beberapa saat, rachel hanya fokus memainkan ujung selimut dengan jari nya, sementara Arthur fokus menatap Rachel yang bertingkah laku seperti anak kecil.

"Rachel." Panggil Arthur dengan nada tertahan.

Rachel terkesiap di tempatnya. Sungguh suara Arthur itu Telponable sekali. Suara deep milik Arthur itu sangat enak untuk di dengar. Rachel jadi suka. Ah lebih tepatnya, caramel jadi suka. Suka dengan suara nya saja tak apa kan.

"Rachel, jangan kaya gitu lagi." Ucap Arthur dengan lirih. Rachel bingung, ia melakukan apa sampai sampai membuat Arthur tertunduk dengan nada seperti itu.

"Kaya gitu gimana?" Tanya Rachel.

"Jangan bikin gue khawatir." Ucap Arthur. Ia kini menatap netra Rachel dalam.

Deg.

"Tolong kak Cleo! Ini gue caramel loh woy. Lo mau baperin anak orang?" Batinya menjerit.

"Kan itu perasaan lo thur. Lo sendiri lah atur perasaan nya biar gak khawatir sama gue." Ucap Rachel enteng. Padahal di hatinya ia menjerit-jerit karna Arthur terus menatapnya dengan intens. Di kehidupan sebelumnya boro boro ia di tatap begitu dengan lawan jenis. Ia dekat dengan laki laki saja kakanya langsung menghadang. Bodyguard gratis.

Arthur menghela nafasnya berat. "Sejak kapan lo jadi keras chel." Ucapnya.

"Sejak tadi. Udah ah, bawel lo mah. Pening nih pala gue. Ini lo yang nganter gue kesini?" Tanya rachel, yang di balas deheman oleh Arthur.

"Ohh.. makasih ya, btw ngapain si rean disini juga? Kan dia benci tuh ama gue. Sudi banget dia nganterin gue sampe rumah sakit." Ucap Rachel. Arthur tertawa pelan. Raut wajah rachel sangat lucu ketika berbicara dengan julid.

"Gue yang paksa." Ucap Arthur.

"Oh pantes, oh iya. Btw, cuma lo berdua aja nih yang nganter gue? Tega banget gak ada yang nganter gue lagi. Sedih hayati." Ucap rachel dramatis. Arthur menyunggingkan senyumnya.

"Emang lo pengen di anter sama siapa?" Tanyanya.

"Kimmy!" Ucap rachel semangat. Tapi sedetik kemudian ia langsung sadar. "Gak, gue gak mau apel makan apel." Ucapnya bergidik.

Arthur tertawa, ia merasa terhibur dengan rachel. Sejak kapan rachel bisa membuatnya geli seperti ini.

"Gue pengen di anter sama laskar aja deh." Ucap Rachel dengan senyuman jenakanya. Arthur langsung menghentikan tawanya, ia menatap rachel datar. Dalam hati rachel terkagum, tenyata ada orang lain yang bisa merubah raut wajahnya dengan cepat seperti dirinya.

"Lo pengen di anter laskar?" Tanya Arthur dengan tajam. Rachel mengangguk cepat.

"Kenapa pengen sama dia." Ucap Arthur kesal. Ia sudah memalingkan wajahnya ke arah lain, ia tak bisa melihat tatapan binar milik rachel. Rasanya sakit ketika gadis itu mengharapkan orang lain.

"Pengen aja. Lagian laskar itu baik banget, dia udah nolongin gue waktu itu. Pasti kalo gue minta bantuan, gue di tolongin lagi." Ucap Rachel. Arthur menatap rachel dingin.

"Gue juga bisa nolongin lo." Nadanya sudah tidak bersahabat. Rachel mengerutkan keningnya, merasa heran dengan nada yang dimiliki Arthur. Tetapi ia tak memperdulikan itu, ia menghendikan bahunya untuk merespon.

Melihat respon acuh rachel, Arthur menjadi kesal. Sudah di pastikan ia akan menandai laskar. Laskar adalah saingannya mulai sekarang.

***

Transmigration Of Two Souls (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang