Thirty Seven

9.5K 978 17
                                    

***

Keberuntungan sedang berpihak padanya, Setelah acara makan bersama. Ia langsung di ajak berbicara dengan kakek dan neneknya. Di saat itulah ia mulai menyampaikan beberapa pendapat, ia juga menjawab semua pertanyaan dari neneknya. Tentunya pertanyaan itu disampaikan dengan bahasa nya.

Sekarang dirinya sedang merebahkan dirinya di kasur. Nenek dan kakeknya, ah ralat nenek dan kakek rachel sudah mulai mengakrabkan diri. Hanya tinggal kedua orang tua rean dan kedua orang tua dinda.

Tapi yang jadi masalah utama disini adalah kedua orang tua dinda. Yang membuat dinda seperti itupun mereka. Apakah ia akan membuat mereka menyukainya, atau ia harus membuat mereka membencinya saja. Ia bingung.

"Ada peningkatan juga otak gue, meskipun gue gak se-genius kak Cleo tapi gue masih bisa mikir kehidupan buat tubuh ini." Gumam rachel. Ia juga sudah siap. Terlepas dari ia akan hidup di raganya kembali, Atau hidup di raga ini, dan yang lebih parahnya ia akan mati. Ia sudah siap.

Ia hanya ingin melakukan hal yang terbaik untuk dirinya dan tubuh ini.

"Gue ngerasa gue udah lama ada di tubuh ini."

"Tapi feeling gue gak enak soal itu. Gue ngerasa gue bisa kapan aja lepas dari raganya." Gumam rachel. Menyedihkan memang, tapi itu lah yang ia rasakan akhir akhir ini.

"Ada masalah dengan psikologis mu Rachel. Kamu mungkin harus melakukan beberapa terapi."

Ia ingat betul Dokter Albert berbicara seperti itu saat sudah memeriksanya. Rachel tersenyum miris, ternyata dari dulu dokter Albert itu mengetesnya. Mengetes tentang psikologis nya.

"Apa separah itu sampe sampe saya harus terapi dok."

Hening sejenak sebelum Dokter Albert berbicara. "Ya, kondisimu sudah lumayan parah. Jika di diagnosa seperti penyakit pada umumnya. Kamu berada di stadium tiga."

Rachel kembali tercenung. Ia tak tahu bahwa ia mempunyai masalah dengan psikologis nya. Sekarang ia mulai mengerti apa dan kenapa ia melakukan hal hal yang menurutnya berlebihan.

"Kejadian di toilet, kejadian di ruang teater dan ... Sebenarnya gue udah meledak ledak tanpa bisa di cegah." Gumamnya sembari menghembuskan nafasnya berat.

"Dok, apa ini penyakit tubuh ini?"

Dokter Albert menggeleng pelan. "Ini memang penyakit kamu. Bukan kamu sebagai Rachel, tapi kamu sebagai caramel. Mengingat penyakit kamu yang sudah parah. Kemungkinan besar kamu sudah memilikinya sejak lama. Dan itu terbawa denganmu yang berada di tubuh ini. Juga, hal ini terlalu tidak logis untuk di alami dirimu. Itulah yang membuat perasaan mu cepat berpindah di waktu ke waktu."

[Author agak ngarang ya:) gak tau soalnya tentang beginian. Tapi author tau, memang ada satu penyakit yang inti nya orang itu selalu merasakan sesuatu dengan berlebihan.]

"Jadi itu punya gue." Gumam rachel sembari mengangguk anggukan kepalanya. "Kalo Mama Lio sama Papa juan tau, mereka bakal tetep neken gue nggak ya? Seenggaknya mereka harus lebih mentingin kesehatan gue kan?." Tanya Rachel.

Ia kemudian melihat ke arah sekeliling nya. "Cih, gak ada yang bisa jawab pertanyaan gue. Gue ngerasa bener bener sendiri sekarang." Ucapnya dengan lirih.

---

Di pagi hari cerah, burung berkicauan, jalanan yang cukup penuh untuk kendaraan. Mereka berlalu lalang dengan seragam yang melekat di tubuhnya.

Seorang gadis menghirup udara dengan lama. Ia kemudian menghembuskan nafasnya sembari memantapkan hati. "Lupain masalah lo sejenak. Mari bersenang senang." Ucapnya.

Transmigration Of Two Souls (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang