STIGMA-40

50.8K 8K 1.1K
                                        

VOTE DULU SEBELUM BACA YA GUYS, HABIS ITU LANJUT BACA LAGI DEH. OKE?

700 VOTE + 2K KOMEN UNTUK NEXT!

Siapin hati karena perasaan kalian bakalan dibuat binbang di part ini. Terutama buat yang kemaren - kemaren ngatain Fajar💔

Jangan lupa nanti baca author note di paling bawah, ada sedikit penjelasan penting supaya kalian ngerti sama part ini.

•••

Fajar membuka laptop untuk mengecek email-nya. Sudah sebulan lamanya ia mengharapkan sebuah balasan dari Ibrano Gireksa. Namun hingga saat ini ia tidak menerima satupun balasan pesan yang sudah sangat ia tunggu sejak ia mengirimkan email tersebut. Fajar lantas terkekeh sinis karena merasa overthinking.

"Apa sebenarnya lo udah ngelupain gue dan bahagia di Jerman? Kalau lo mau gue berhenti berharap sama hubungan ini, setidaknya kabarin gue anjing! Gue bisa gila nungguin lo kalau kenyataan lo nggak akan pernah balik ke Indonesia!" ucap Fajar monolog sambil menatap foto bersama mereka berdua dengan mengacak rambutnya frustasi.

Fajar mulai mengetikkan pesan pada badan email, yang akan ia kirimkan kepada Ibrano Gireksa.

"I'm done. Keputusan gue udah bulat, maafin gue, Ib. Gue nggak bisa terus - terusan ada di jalan yang salah, gue nggak akan berharap lagi setelah ini. Anggap hubungan yang kita jalanin selama ini adalah dosa besar yang harus gue tebus mulai saat ini. Gue mau normal lagi, ada perempuan yang harus gue cintai dengan sepenuh hati gue. Semoga lo selalu bahagia, makasih karena udah mau kenal sama gue, dan makasih untuk kenangan selama ini."

Setelah selesai mengirimkan email, Fajar segera menutup laptopnya dan keluar dari kamarnya. Ia sudah meyakinkan dirinya dalam waktu semalam. Bahkan dalam semalam ia sama sekali tidak tidur dan sibuk beradu dengan dirinya di depan cermin. Dan paginya ia menemukan kamarnya dalam keadaan berantakan dan sebagian tubuhnya terlihat memar - memar tanpa bisa ia ingat dengan jelas apa yang sudah terjadi semalam. Kini memberanikan diri untuk pergi ke psikater, karena hanya dokter yang bisa membantunya untuk sembuh. Ia mendatangi psikiater tanpa sepengetahuan Elen dan Roy. Karena jika mereka mengetahuinya, ia sudah pasti akan ditodong oleh banyak pertanyaan.

Sesampainya dirumah sakit, Fajar setia menundukkan kepalanya dalam dan menatap kebawah, walaupun dokter sudah melayangkan banyak pertanyaan untuknya. Hanya saja ia tidak tahu jawaban apa yang harus ia berikan.

"Ada begitu banyak rasa sakit dihatimu, namun kamu tidak pernah bisa menyuarakannya?" tanya sang dokter. Fajar menganggukkan kepalanya dengan lemah.

"Jika terlalu sakit, kamu bisa melepaskannya dengan menangis. Air mata yang kamu tahan, itu bisa menyebabkan hatimu semakin sakit. Biarkan air matamu keluar, maka hatimu akan sedikit lega akan rasa sakit itu," ujar dokter membuat Fajar memejamkan kedua matanya dan menarik nafas sedalam - dalamnya sebelum menghembuskannya, bersamaan dengan air matanya yang jatuh dari pelupuk matanya. Selama bertahun - tahun lamanya, ia tidak pernah bisa mengeluarkan air matanya, namun kini air matanya pun meleleh.

Fajar menangis dengan sejadi - jadinya dengan teriakannya yang teredam di dalam ruangan kedap suara itu. Tangisan yang menjadi tangisan terdasyat yang Fajar titihkan pertama kalinya selama hidup belasan tahun. Isakannya menyiratkan banyak rasa sakit, luka dan penderitaanya selama melebur menjadi satu yang membuat hatinya berkecambuk hingga memaksa Fajar untuk memukul dadanya berulang kali dengan keras.

"Saya merasa diri saya terlalu sakit untuk mencintainya yang sangat bertolak belakang dengan saya yang nyatanya menyukai sesama jenis......" ujar Fajar dengan pilu."Tapi saya yakin bisa normal, dok."

STIGMA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang