[SUDAH TERBIT DAN TERSEDIA DI GRAMEDIA]
[GENORAZORS SERIES 2]
Aralya Rylie Millano, hidupnya tidak seindah senyumannya yang selalu ia perlihatkan pada dunia. Ia terlahir karena hubungan satu malam. Selain keluarga besarnya, ayahnya, semua orang juga...
Yang nggak vote dan komen, nasibnya kayak Alya. Canda/ tawa jahat.
Wajib vote dan komen ya. Yang baca tapi nggak follow juga, harus follow. Kalau enggak, kelewatan sih prend.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
•••
Alya merasa ragu untuk kembali kerumahnya. Ia sudah lebih dulu dihantui oleh ketakutannya terhadap Wiguna yang tidak akan segan memukulinya. Bayang - bayang tersebut sudah menjadi mimpi buruknya selama ini. Bahkan ia mengingat bagaimana rasa sakit dari setiap luka fisik yang diberikan oleh Wiguna untuknya.
Alya menautkan jari jemarinya dengan menunduk tidak tenang. Ia memejamkan kedua matanya dengan kuat. Membayangkannya saja sudah sangat mengerikan. Ketika semua orang menganggap rumah adalah tempat kepulangan, berbeda dengannya yang menganggap bahwa rumah adalah neraka yang penuh dengan penyiksaan.
Amara melangkah masuk lebih dulu, sementara Alya masih diam ditempatnya untuk mengumpulkan keberaniannya, sebelum Amara yang baru menyadari itu lantas bertanya.
"Apa yang kamu lakukan disana? Ayo masuk." ajak Amara dengan terselip isyarat perintah.
"Apakah Papa akan membunuh Alya ketika melihat Alya kembali kerumah ini?" tanya Alya parau. Amara tidak menjawabnya, dan langsung menarik tangannya begitu saja untuk segera masuk.
Wiguna terlihat sedang duduk santai di ruang kerjanya. Ia lantas bangkit dari duduknya dengan kasar ketika melihat kedatangan istrinya bersama Alya yang kini bersembunyi dibalik punggung Amara. Wiguna tertawa, kedua matanya menatap benci pada sosok Amara. Baginya wanita itu sudah lancang karena melakukan hal yang sudah ia larang sejak awal.
Wiguna melangkah menghampiri Amara yang kini sudah menatapnya dengan dagunya yang terangkat begitu angkuh.
"Kamu membawanya kembali tanpa persetujuan dariku, Amara?" tanya Wiguna tidak percaya."Apa yang coba ingin kamu dapatkan dengan melakukan itu? Aku sangat tidak menyukai wanita yang bersikap seenaknya!"
"Di rumah ini, aku adalah pembuat keputusan dan kamu tidak berhak untuk membuat keputusan sendiri, terutama mengenai anakku." tekan Wiguna yang kemudian mengalihkan tatapannya kearah Alya yang mendadak semakin tidak tenag ketika mendapatkan tatapan berbahaya itu.
Wiguna menarik Alya untuk ia bawa kehadapannya. Alya sudah dapat menebak apa yang akan dilakukan oleh Wiguna, apalagi jika bukan meluapkan amarahnya dengan cara memukulinya? Sebelum Wiguna melakukan itu, Alya berhasil menahannya dengan kalimat yang ia ucapkan.
"Benarkah Alya adalah anak Papa seperti yang Papa katakan barusan? Tapi yang selama ini Alya rasakan, Papa hanya membenciku." ujar Alya dengan menundukan kepalanya.
"Iya, saya hanya membencimu! Seperti yang kamu ketahui jika saya tidak pernah menginginkanmu." balas Wiguna terdengar serius membuat perasaan Alya sangat terluka.