STIGMA-27

46.8K 8.1K 4.6K
                                    

Kangen nggak setelah aku nggak update satu hari?

Siapa yang nungguin cerita ini update?

Vote dulu sini sebelum baca. Tolong hargai penulis dengan vote dan komen! Jangan cuma baca aja:)

•••

Alya bergegas pergi dengan langkah terseok setelah tanda - tanda dari anxiety disordernya muncul. Ia merasakan seluruh otot tubuhnya menegang, ia sudah tidak bisa menepis rasa cemasnya yang berlebihan. Alya mendatangi ruang bimbingan konseling, hanya guru bimbingan konseling yang bisa ia mintai pertolongan dan menjadi harapan terakhirnya untuk saat ini.

"T-tolong saya, Bu. Se-mua orang melecehkan saya, saya mohon lindungi saya. Saya tidak tahu harus berlindung pada siapa lagi..." ujar Alya sembari memegangi dadanya yang mulai terasa sesak.

"Jangan mengarang cerita. Kamunya saja yang terlalu bawa perasaan, saya yakin mereka semua bercanda," ujar Bu Serly tidak percaya dan menganggapnya remeh. "Jangan menuduh orang sembarangan, mereka semua adalah anak dari investor besar yayasan Dawana."

"Walaupun kenyataanya mereka salah? Ta————"

"Tidak usah berlebihan dan kembali ke kelasmu," perintah Bu Serly, sedetik kemudian beliau berlalu pergi membuat seluruh harapan Alya pupus. Bahkan mereka yang kenyataanya bersalah, justru dibela. Benar - benar sudah tidak ada satupun keadilan untuknya di dunia. Meminta pertolongan pada guru bimbingan konseling ternyata bukan solusi.

Alya berpegang pada dinding untuk tetap menjaga keseimbangan ketika kedua kakinya lemas dan tidak kuat menopang tubuhnya. Sesak di dadanya semakin menyiksa, bahkan kedua matanya memerah dan mengeluarkan cairan bening. Ronga dadanya terasa begitu sempit, sehingga ia kesulitan untuk sekedar menarik nafas. Anxiety disordernya yang kambuh, dapat memicu asma akutnya. Detak jantungnya meningkat, otot tubuhnya terasa kaku. Rasanya sangat tersiksa, seperti akan mati. Alya terus memukul dadanya dengan keras, ia benci penyakitnya yang kambuh disaat yang tidak tepat.

Tidak bisa menahan rasa sesak itu semakin lama, Alya kembali menuju kelasnya. Sesampainya di kelas, seisi kelas langsung menatapnya rendah dan sinis, mereka semua juga tidak berhenti melukai perasaannya dengan perkataan mereka. Ia melihat mejanya sudah dicoret - coret membuat hatinya teriris.

"JADI CEWEK KOK DISKONAN. SEKALINYA MURAH YA JALANG!"

Alya tidak bisa fokus pada apapun, kecuali mencari inhaler miliknya. Dengan gerakan tangannya yang gemetar hebat, ia menggeledah isi tasnya untuk mencari benda itu, namun ia tidak berhasil menemukannya.

"Woi, lo lagi cari ini?" tanya seorang lelaki yang merupakan teman sekelasnya yang kini sudah berdiri di sebuah balok persegi panjang yang berada di depan papan tulis.  Kedua mata Alya pun berbinar karena inhalernya ditemukan, ia melangkah untuk meraih benda itu, namun lelaki itu sengaja mengopernya kepada mereka yang sudah siap menangkapnya.

"Ayo sini ambil kalau bisa!" tantang yang lainnya. Alya terus berusaha untuk mengambilnya, karena saat ini ia sangat membutuhkan alat itu. Hanya alat itu yang bisa membuatnya bertahan dalam kondisi seperti saat ini.

"Oper terus woi jangan dikasih!"

"Ayo dong usaha ngambil, nggak seru amat lo!"

"Lo butuh ini kan? Ambil sampai dapet. Kalau berhasil ambil, gue kasih deh," ujar yang lainnya. Seisi kelas kini menertawakannya dengan puas. Alunan tawa mereka terdengar begitu bahagia. Alat tersebut terus dioper tanpa henti, nafas Alya mulai melambat, pasokan oksigen yang terpompa ke seluruh tubuhnya semakin menipis, hingga membuat tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga.

STIGMA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang