STIGMA-58

39.9K 6.1K 374
                                    

Sebelum baca, jangan lupa buat vote lebih dulu ya, wajib!

Kalau kalian suka sama ceritanya jangan lupa rekomendasiin ketemen - temen kalian ya, sekalian racunin mereka juga buat baca hehe💓

•••

Seminggu telah berlalu, setelah melakukan proses kemoterapi, setiap harinya Alya mendapati rambutnya rontok setiap harinya dalam jumlah yang sangat banyak. Alya menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin dengan sebuah gunting ditangannya. Dengan senyum lebar yang mengembang di wajahnya, Alya mulai memotong rambutnya sendiri menjadi potongan laki - laki sehingga kepalanya terasa lebih ringan.

Wiguna yang melihatnya hanya bisa menahan tangis, terlihat begitu jelas dari tatapan mata gadis itu yang memperlihatkan dirinya merasa tidak ikhlas kehilangan rambutnya untuk yang kedua kalinya. Namun Alya berusaha memperlihatkan bahwa dirinya bangga dengan rambut pendek itu.

"Nggak lama lagi, rambut Alya bakalan habis nggak tersisa," ujar Alya dengan berusaha kuat menahan air matanya.

"Alya sama sekali nggak sedih kok, malahan Alya nggak sabar buat samaan sama Papa..."

"Cantik, kamu selalu cantik, kecantikan kamu tidak perlu diragukan oleh siapapun." Wiguna memuji putrinya.

"Beneran, Pa?" tanya Alya memastikan. Wiguna mengangguk setuju.

"Alya ngantuk Pa, mau tidur," pinta Alya dengan kedua matanya yang terlihat begitu lelah. "Alya pengen kepalanya di elus sama Papa supaya tidurnya nyenyak, boleh?"

"Boleh, Papa elusin kepala kamu sampai tidur ya," jawab Wiguna. Alya menerlentangkan tubuhnya diatas brankar dan perlahan tidur dengan keadaan Wiguna mengelus kepalanya bahkan memeluk tubuhnya. Itu semua membuatnya bahagia, namun ia merasa semua itu masih kurang, tanpa kehangatan dari Belinda, ia ingin merasakan kehangatan pelukan dari kedua orangtuanya.

"Tuhan, pinjem Mama sehari saja boleh? Aku rindu pelukannya," ucap Aralya dalam hati dengan kedua mata yang terpejam.

Beberapa jam setelah ia terbangun dari tidurnya, Alya menemukan keberadaan Belinda di dalam ruang perawatannya yang kini tengah memandanginya dari arah pintu. Sontak Alya merubah posisinya menjadi duduk dan mengerjapkan matanya berulang kali untuk memastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. Yang dilihatnya saat ini adalah nyata, namun sangat mustahil melihat keberadaan Belinda yang nyatanya sudah meninggal dunia.

Karena rasa rindunya yang begitu besar pada Belinda, Alya segera berlari menghampiri Belinda dengan air matanya yang turun membasahi pipinya. Alya tidak memperdulikan siapapun sosok itu, intinya ia sangat merindukan sosok Belinda di hidupnya.

"Mama, Alya kangen sama Mama. Alya sama sekali nggak peduli kalau ini mimpi, yang penting Alya bisa ketemu sama Mama, bisa lihat wajah Mama, dan peluk Mama. Kalaup pun ini mimpi, Alya nggak mau mimpi ini cepet - cepet berakhir...." lirih Alya. Ketika Belinda membalas pelukan Alya, itu terasa begitu nyata bagi Alya.

Bukan Belinda, melainkan adalah Melinda—kembaran Belinda yang rela menjadi Belinda hanya demi Alya. Ia ingin mengambulkan permintaan gadis itu yang sempat ia dengar ketika gadis itu berziarah ke makam Belinda. Bahwa kebahagiaan yang gadis itu inginkan hanyalah dengan bisa melihat kehadiran Belinda. Melinda sekuat tenaganya menahan tangis dengan bibirnya yang terkatup rapat.

"Alya udah bahagia, Ma. Tuhan udah baik hati untuk kabulin semua permintaan Alya, apa mungkin Tuhan  mau aku bahagia sebelum aku pergi?" tanya Alya membuat tangis Melinda tidak tertahan. "Semesta yang biasanya jahat sama aku, sekarang udah mulai berbaik hati sama aku "

"Mama kamu juga pasti bahagia," batin Melinda.

•••

Tidak lama kemudian Wiguna dipanggil ke ruangan dokter Farhan karena ada hal penting yang perlu disampaikan oleh dokter Farhan kepada Wiguna mengenai perkembangan kondisi Alya yang sudah ia amati dalam beberapa pemeriksaan berlanjut.

STIGMA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang