3. Benedict

5.3K 355 13
                                    

Terhitung sudah tiga hari Chelsea menempati rumah mewah itu. Sejak rencana kaburnya kala itu gagal, karena para pasukan hitam mengetahui rencananya dan mengejarnya, penjagaan kali ini lebih ekstrim. Hampir di setiap sudut kampus akan berdiri satu pria berbaju hitam dengan wajah datar tanpa ekspresi yang menatap tiap gerak geriknya.

Meskipun Chelsea belum berhasil kabur dari mereka, tapi ia tetap dan terus memikirkan cara untuk kabur dari istana mewah yang nyatanya tidak membuatnya nyaman itu.

"Nona, Tuan akan kembali hari ini."

Seruan dari Jane diterima malas oleh Chelsea yang terduduk memakan buah jeruk. "Hmm."

"Tuan sudah tiba, Nona."

Hampir saja Chelsea tersedak biji jeruk mendengar ucapan Jane. Bukankah barusan ia mengatakan Tuannya akan tiba hari ini, kenapa cepat sekali berubah sudah tiba. Chelsea harap-harap khawatir melihat aura yang berbeda sejak pintu terbuka dan para pelayan serta bodyguard berjejer rapi.

Tidak tahu apa yang harus ia lakukan, Chelsea hanya berdiri mematung di tempatnya, suara langkah sepatu yang ia prediksi seharga rumah menggema ketika bergesekan dengan lantai. Setara dengan degupan jantungnya yang tiba-tiba berdegup tidak normal. Ia takut.

"Menunduklah, Nona."

Bisikan lirih seorang pelayan terlambat ia sadari saat pemilik sepatu mengkilap memasuki ruangan dan menatap ke arahnya dengan tatapan dingin yang membuat Chelsea berkeringat. Mungkin pria itu memang tampan, tapi bukan aura ketampanan yang membuat Chelsea berkeringat. Justru tatapan pria itu begitu menusuknya seakan membekukan tubuhnya juga jantungnya. Membuat nafasnya terhenti seketika, bahkan untuk menelan saliva guna membasahi tenggorokannya ia tidak mampu.

 Membuat nafasnya terhenti seketika, bahkan untuk menelan saliva guna membasahi tenggorokannya ia tidak mampu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Benedict. Pria itu menatap lurus pada gadis mungil dengan wajah memucat yang menatapnya. Tidakkah gadis itu tahu bahwa saat bertemu dengannya ia harus menunduk? Tapi apa yang gadis itu lakukan?

Benedict menghampiri, memperhatikan gadis mungil itu dari atas hingga bawah. Nampak terlihat jemari gadis itu yang bergetar. "Kau Chelsea Violette?"

Suara berat yang terkesan maskulin menembus gendang telinga juga menusuk tepat di jantung Chelsea. Bukan hanya auranya, tapi suara pria itu juga syarat akan ancaman mematikan. Chelsea merasakan tenggorokannya yang kering. Hanya anggukan yang mampu ia berikan, karena bibirnya tak sanggup untuk sekedar berucap iya.

"Jangan mencoba melakukan tindakan bodoh, dan menurutlah."

Chelsea tahu saat ini hidupnya tidak akan berjalan normal, tapi ia tetap harus menanyakan satu hal yang mengganjal di hatinya. "Apakah saya pernah berbuat salah pada anda?" Akhirnya kalimat itu mampu ia ucapkan meskipun dengan suara yang sangat lirih.

Benedict menatap gadis di hadapannya. "Tidak. Tapi sayangnya kau harus terseret ke dalamnya," jawabnya menyeringai.

Lagi-lagi Chelsea menelan salivanya alot. "J-jadi, ada urusan a-apa anda ingin bertemu dengan-ku?"

Chelsea : I Want You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang