Chelsea tertegun memperhatikan jarinya sendiri yang terluka saat tak sengaja tergores ujung almari yang lancip. Darah segar perlahan merembes dari kulitnya, namun yang mengherankan adalah, ia tidak pusing berkunang-kunang seperti sebelumnya. Bahkan ia berani menatap lekat cairan kental berwarna merah tersebut.
Sejak kapan ia tak lagi khawatir dengan darah?
Ia beranjak menuju kamar mandi dan membasuh jarinya dengan air mengalir. Tiba-tiba ingatannya berputar pada beberapa kejadian ekstrim yang Benedict minta lakukan.
Mulai dari berenang di lautan lepas, menyelam selama lima menit, berjalan di hutan di tengah malam, membersihkan ayam yang mati, juga terjun lenting. Tubuh Chelsea menegak menyadari mungkin pria itu memang sengaja meminta dirinya melakukan itu untuk membuatnya lebih kuat dan berani.
"Kau harus terbiasa melihat darah."
Kalimat Benedict berputar di kepalanya. "Apa dia berencana menyembuhkan ketakutanku?" gumamnya pelan.
Diantara keburukan yang seorang Benedict lakukan, lebih banyak kebaikan yang pria itu lakukan untuknya. Entah sudah berapa kali pria itu menyelamatkannya dalam bahaya, walau ancaman menjadi santapan King masih menjadi ancaman serius dari bibirnya, namun pada kenyataannya Benedict tak benar-benar membuatnya menjadi santapan Harimau. Atau mungkin belum.
Mungkin dari hal-hal kecil yang Benedict lakukan itulah yang membuat Chelsea merasa dilindungi pada satu waktu, merasa aman berada bersama pria itu, dan pada akhirnya menimbulkan perasaan lain yang mulai menggelitik hatinya hingga berdegup indah ketika melihat wajah tegas pria itu, menimbulkan percikan api cinta yang entah kapan mulai tumbuh di dalam hatinya.
Lalu bagaimana dengan Nadine?
Bahkan ia melupakan bertanya tentang kebenaran kalimat Benedict pada wanita itu. Ada satu sisi ia tak percaya dengan apa yang Benedict katakan tentang kakaknya, namun ada sisi bahwa ia percaya.
Chelsea mendesah. "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku, Nadine? Apa benar kau membunuh adiknya?" gumamnya membasuh wajahnya dengan air mengalir.
***
Chelsea memperhatikan lalu lalang gadis dan pria seumurannya yang tengah tertawa di sepanjang jalan saat ia tengah berada di dalam mobil milik Benedict.
"Kehidupanmu tidak akan sama lagi," ujar Benedict menyadari apa yang menjadi pusat perhatian perempuan di sampingnya.
Chelsea mengangguk. "Aku tahu, aku hanya sedang membayangkan menjadi mereka saat ini. Hanya itu yang bisa aku lakukan."
"Kau tidak bisa menyesali semua yang terjadi."
"Sejujurnya aku selalu menyesali semua yang terjadi dalam hidupku. Aku menyesal menjadi adik dari wanita brengsek seperti Nadine yang membiarkan aku terperangkap dalam urusannya," Chelsea menggeram marah. "Aku menyesal tak menyetujui idenya untuk pindah rumah waktu itu. Aku menyesal berubah pikiran untuk mengikutinya naik pesawat hari itu." Ya, ia pernah melakukan tindakan konyol untuk mengikuti Nadine berangkat ke bandara hanya ingin memastikan dimana kakaknya tinggal. Namun ia mengurungkan niat saat menerima telepon dari temannya yang mengatakan pacarnya selingkuh. "Tapi aku tidak menyesal telah merelakan tubuhku di sentuh olehmu," imbuhnya melirik tajam pria di sampingnya.
Benedict terkejut, benar-benar terkejut dilihat dari ekspresi wajahnya mendengar apa yang Chelsea ucapkan. Bahkan Bastian yang tengah mengemudi hampir tak fokus pada kemudinya mendengar apa yang Chelsea katakan, ia tidak tahu bahwa majikannya dan Chelsea pernah terlibat kontak fisik yang lebih intens.
"Apa yang kau katakan?" desis Benedict menggeram.
Chelsea menelan saliva. "A.."
"Bas, keluar," perintah Benedict tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chelsea : I Want You (End)
General Fiction(18+) Kehidupan Chelsea berubah sejak seorang pria asing membawanya paksa ke sebuah rumah mewah dengan fasilitas lengkap. Entah apa yang mendasari pria asing tersebut menculiknya ketika keadaan kampus bahkan ramai dengan mahasiswa dan mahasiswi. Tap...