Mimpi yang indah seketika sirna, tergantikan sebuah kenyataan. Kepala Chelsea masih terasa berputar, namun ingatannya tengah memutar memori yang menampilkan gambaran peristiwa yang sepertinya ingin ia ingat. Kedua bola matanya seketika terbuka ketika kilas kejadian mengerikan terputar dalam memori ingatan. Ia memperhatikan sekeliling, kamar yang terasa asing. Ia membuka selimut yang membungkus tubuhnya.
Deg!
Tidak ada sehelai benangpun yang menempel di tubuhnya. Hancur. Seluruh perasaan dan tubuh Chelsea terasa hancur, air matanya seketika mengalir deras, suara isak tangis yang berganti dengan raungan kepedihan mengisi ruangan.
"Tidak! Hwaaaa!" suara tangisan itu layaknya luka yang tersiram air garam. Chelsea meraung, menjambak rambutnya sendiri ketika menyadari dirinya telah ternoda oleh seorang pria. "Brengsek! Sialan! Keparat!" Hancur, ia benar-benar hancur.
"Benedict, kenapa kau tidak menolongku?" Chelsea kembali meraung ketika melihat sebuah handuk di sisi meja dengan tulisan identitas bar yang semalam ia kunjungi untuk merayakan pesta ulangtahun Elsheva, yang membuktikan bahwa dirinya telah bercinta dengan pria di kamar dalam bar tersebut. "Kenapa kalian tidak mencariku?"
Bayangan pria yang menyentuh tubuhnya semalam melintas di ingatan, ia tidak pasrah, ia sudah menolak dan meronta, namun ketika kesadarannya hilang ia tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi, tapi bukankah seharusnya kedua temannya mencarinya? Seharusnya mereka menolongnya? Tapi kenapa ia harus berakhir di dalam kamar dalam keadaan tanpa busana? Chelsea kembali menangis tergugu. "Aaaaaaaaaaaaa!!" ia berteriak meluapkan amarah.
"Berhenti berteriak."
Sebuah suara menyeru.
Tubuh Chelsea terpaku dengan tatapan terkejut, ia terdiam dengan wajah kebingungan luar biasa. Chelsea berkedip pelan guna memastikan bahwa apa yang ia lihat bukanlah bayangan atau ilusi.
"Seperti ini yang kau harapkan?"
Chelsea masih terdiam dengan sisa airmata membasahi pipinya namun keterkejutan begitu kentara di wajahnya.
"Ini yang kau inginkan," tatapan setajam elang itu kian mendekat.
Tidak, Chelsea tidak berhalusinasi, ia mengenali suara itu, ia pastikan bahwa pria di hadapannya bukanlah orang asing baginya. Kedua sudut bibir Chelsea tertekuk ke bawah, pelupuk matanya sudah tergenang cairan bening yang siap tumpah, ia menjulurkan tangan meminta sang pria mendekat, melingkarkan tangan di perut sang pria yang berdiri di hadapannya, hingga isak tangisnya kembali terdengar. "Benedict," ucapnya begitu pelan.
"Benedict, a-ku," Chelsea mendongak, netra teduhnya sudah memerah karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. "Seorang pria," ia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.
Benedict mengambil duduk di hadapan Chelsea. "Seorang pria kenapa?" tanyanya.
Chelsea sudah terisak hebat, bahkan tenggorokannya tercekat tidak bisa berbicara. "Aku, a-ku di—"
Benedict menarik Chelsea ke dalam pelukannya, entah mengapa ia tidak ingin Chelsea melanjutkan kalimatnya.
Suara tangis Chelsea kian menggema. "Benedict, huhuhu."
Benedict menarik nafas dalam. "Lain kali aku tidak akan pernah mengizinkanmu keluar."
Chelsea mengangguk patuh. "Maafkan aku."
"Berhentilah menangis," sebenarnya Benedict tidak terbiasa dengan suara tangisan kesedihan, yang biasa ia dengar adalah tangisan permohonan, atau tangisan kesakitan.
Chelsea begitu penurut, seketika ia menghentikan tangisannya, walau isakan masih terdengar.
***
"Chels."
Sebuah suara menyeru, membuat tatapan Chelsea dan Benedict teralihkan.
"Chels, ku mohon maafkan aku," Elsheva tiba-tiba datang serta memeluk tubuh Chelsea yang mematung. "Aku sungguh merasa bersalah padamu, apa terjadi hal buruk denganmu?" Elsheva memperhatikan inci tubuh Chelsea dari atas hingga bawah.
"Apa yang kau katakan?" Chelsea tidak mengerti.
"Demi Tuhan aku sudah menolak rencana gila Nathalie, tapi semalam dia menyeretku pulang serta meninggalkanmu bersama seorang pria. Aku khawatir semalaman dengan keadaanmu, itu sebabnya aku ke sini sekarang. Katakan padaku kau baik-baik saja, Chels. Apa pria itu memperkosamu?" Elsheva terlihat kacau dan khawatir.
Chelsea tercekat, ia menoleh pada Benedict yang seakan sudah mengetahui semuanya, memang begitulah kenyataannya. "Jadi, obat perangsang itu benar? Kalian yang memasukkannya ke dalam minumanku?" tanyanya tidak percaya.
Elsheva menangis. "Maafkan aku, Chels. Ini semua rencana Nathalie, awalnya kita hanya main-main, tidak berniat sampai mengarah ke seks, aku berniat menolongmu dari pria itu, tapi Nathalie menahanku. Dia berkata bahwa kau perlu peralihan dari Benedict," terangnya tergugu.
Benedict yang disebut namanya menoleh, menatap penuh selidik.
Dada Chelsea seakan ditimpa palu godam yang seketika menyesakkan. Ia mundur selangkah ketika Elsheva hendak meraih tubuhnya. "Aku tidak menyangka kalian melakukan ini padaku. Kalian tidak tahu bagaimana takutnya aku ketika pria itu menjamah tubuhku, aku ketakutan hampir mati," sakit, Chelsea semakin sakit mengetahui fakta bahwa obat perangsang itu adalah rencana teman-temannya.
"Maafkan aku, Chels," Elsheva kian terisak.
Chelsea menggeleng. "Tidak ada teman yang merencanakan hal buruk terhadap temannya sendiri. Kalian sangat keterlaluan, aku benci kalian berdua," ia menghentak marah.
"Chels,"
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Els," hardik Chelsea keras, kedua pipinya basah oleh airmata. "Bagaimana jika posisinya dibalik? Kau yang mengalaminya, kau yang hendak diperkosa? Dan semua itu ulah temanmu, bagaimana menurutmu? Pantaskah kau menerima permintaan maafnya? Pantaskan kau memaafkan mereka?!" Sakit yang teramat dalam memang susah untuk dilupakan, terlebih perbuatan teman-temannya sangat tidak etis, terlebih lagi mereka adalah perempuan.
Elsheva menggeleng, ia juga sama-sama sedih dan terluka, seharusnya semalam ia menolong Chelsea, seharusnya semalam ia tidak meninggalkan Chelsea. Ia menyesal, penyesalan yang sangat terlambat.
Chelsea mengusap wajahnya, kemudian menarik nafas dalam. "Kita tidak perlu bertemu lagi, aku tidak ingin berteman denganmu ataupun Nathalie. Bukan pertemanan seperti ini yang aku harapkan. Jangan khawatir, aku akan mengirimkan hadiah ulangtahun seperti yang sudah aku janjikan padamu," mengakhiri pertemanan yang tidak sehat adalah pilihan yang tepat, ketika kehadiranmu hanya sebuah hiburan bagi mereka.
Elsheva tercekat, meskipun begitu ia tidak bisa melawan, karena apa yang Chelsea katakan benar, ia sendiri juga pasti akan marah jika diperlakukan seperti itu. Ia menatap nanar kepergian Chelsea bersama Benedict dihadapannya. "Aku sungguh menyesal, Chels. Maafkan aku," gumamnya sungguh-sungguh.
Chelsea kembali terisak ketika masuk ke dalam mobil. Banyak kenangan indah yang telah ketiganya lalui semenjak di bangku kuliah, hanya karena lelucon yang tidak etis, tapi perbuatan teman-temannya bukan sekedar hanya, lelucon itu sangat menyakiti hatinya, meskipun pria itu tidak berhasil menyetubuhinya, tapi bagaimana jika seandainya Benedict tidak menolongnya, akan bagaimanakah nasibnya. Chelsea kian tergugu melepaskan sesak yang menghimpit dadanya. "Aku benci kalian!" teriaknya keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chelsea : I Want You (End)
General Fiction(18+) Kehidupan Chelsea berubah sejak seorang pria asing membawanya paksa ke sebuah rumah mewah dengan fasilitas lengkap. Entah apa yang mendasari pria asing tersebut menculiknya ketika keadaan kampus bahkan ramai dengan mahasiswa dan mahasiswi. Tap...