9. Mainan baru

3.6K 277 8
                                    

Nadine menggebrak meja dengan keras melihat foto-foto yang dikirimkan padanya. Matanya memanas melihat sang adik tak berdaya diikat di sebuah kursi. "Siapa yang melakukannya? Dia melakukannya?"

"Bukan, Nona. Salah seorang musuh Benedict yang melakukannya."

Tangan Nadine terkepal. Seharusnya ia bisa memprediksi kejadian seperti itu akan terjadi, dan Chelsea bukanlah kelemahan seorang Benedict yang harus diselamatkan jika hal buruk menimpa. "Temukan dia!" perintahnya.

"Baik, Nona."

Bibir Nadine bergetar. "Ku mohon selamatkan adikku."

Penyesalan hanya bisa Nadine rasakan. Seharusnya ia tidak mencari masalah dengan Benedict. Seharusnya tahun itu ia tidak menerima tugas itu. Nadine menyesal, benar-benar menyesal. Ia meremas rambutnya kuat. Menangis tanpa suara. Membayangkan Chelsea yang ketakutan di sana.

"Kakak akan menemukanmu, Chels. Bertahanlah."

Ia memejamkan mata guna mengusir pikiran buruknya, dalam dunia yang ia geluti, kehilangan nyawa bukankah sesuatu yang harus di takuti. Tapi kali ini Chelsea. Satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tidak ada satupun orang yang mengetahui bahwa ia mempunyai saudari. Ia telah mengubah seluruh kartu keluarga dan mengeluarkan Chelsea sebagai bagian dari keluarga. Ia melakukan itu untuk melindungi adiknya. Namun siapa sangka bahwa seorang Benedict mampu mengetahuinya.

Nadine kalut. Ia takut. Takut jika nyawa Chelsea yang akan menjadi penebus dosanya.

"Tuhan.. ku mohon selamatkan adikku.."

***

Bastian menatap kagum sosok gadis yang terbaring di atas kasur dengan beberapa perban di tubuhnya, juga infus di tangan kirinya. Kagum karena pada kenyataannya gadis itu bisa kabur dan selamat dari para penculik itu.

Entah kebetulan atau memang takdir Tuhan. Gadis itu berhasil melewati maut yang mematikan. Bastian atas perintah Benedict mencari tahu apakah mereka telah mengeksekusi Chelsea. Yang nyatanya salah seorang suruhan mereka menemukan tubuh Chelsea mengambang di sebuah sungai dengan masih terikat pada kursi. Mereka membawanya pulang, meminta Arthur memeriksa kondisi Chelsea yang memprihatinkan.

"Anda memang luar biasa, Nona."

Benedict memasuki ruangan, menatap dingin gadis yang kini terkulai lemah dengan jarum infus di tangannya. "Kau sudah memastikan wanita itu menerima fotonya, Bas?"

Bastian mengangguk hormat. "Dia sudah menerimanya, Tuan."

Benedict menyeringai. "Tidak akan aku biarkan dia menemukanmu walaupun itu hanya jasadmu."

"Seperti prediksi anda, Tuan. Beberapa orang suruhan mereka mulai menyusuri tempat Nona Chelsea diculik."

"Jangan sampai dia tahu kalau adiknya berada di sini. Aku ingin wanita itu menjadi gila karena mencari jasad adiknya."

"Baik, Tuan."

***

Chelsea mengira bahwa ia telah berada di surga, tidak lagi bisa menghirup oksigen bebas di bumi. Ingatannya tentang kebakaran dan terlempar ke dalam jurang membuatnya menitikkan air mata. 'Izinkan aku kembali hidup, Tuhan.'

Tapi tunggu, suara apa itu?

Kluk! Kluk! Kluk!

'Bunyi jarum jam? Aku bisa mendengarnya? Apakah aku masih hidup?'

Chelsea ingin membuka mata, namun terasa berat seakan ada lem yang menempel. Keningnya mengerut membentuk beberapa lipatan. Butuh usaha keras untuknya membuka mata, hingga kelopak mata itu terbuka. Menatap langit-langit kamar yang tidak asing. Aroma ruangan yang tidak asing baginya. Ia memperhatikan sekitar, ternyata benar. Ia berada dalam kamar mewah itu lagi.

Chelsea : I Want You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang