37. Bro-jerk

1.7K 147 31
                                    

Chelsea menopang kepalanya dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain memegang sebuah apel yang sudah ia makan setengahnya. Tatapannya menatap lurus pada sepupunya yang tengah serius dengan sebuah laptop.

"Kau akan jatuh cinta padaku jika menatapku dalam waktu lebih dari satu menit, Sea," Luke berujar tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop. Ada pekerjaan serius yang harus ia kendalikan.

Chelsea mendengus, menggigit bagian akhir buah apelnya kemudian menelannya. Ia berdehem sejenak. "Apa kau pernah bertemu dengan Ibuku?" tanyanya pelan.

Jemari Luke yang menari di atas keyboard terjeda. "Benedict mengatakan sesuatu padamu?" tebaknya.

Chelsea melotot. Kenapa semua pria yang dikenalnya seakan mempunyai indera ke-enam. "Tidak. Aku hanya ingin tahu tentang Ibuku."

Luke menutup layar laptop dan menatap Chelsea. "Mau ku beri saran?"

"Apa?"

"Kau tidak cocok untuk Benedict."

Netra Chelsea membulat.

"Tidak, tidak, maksudku dia tidak baik untukmu, Sea," Luke meralat. "Dia terlalu berbahaya, dan bisa membahayakanmu," ia tidak bohong tentang itu.

"Bukankah kau dan Kakek bisa menyelamatkanku dari bahaya itu, jika seandainya itu terjadi," Chelsea tahu Benedict berbahaya, namun menjauh bukan pilihan yang tepat, —menurutnya.

Luke mendesah berat menyadari sesuatu tentang sepupunya. "Mau ikut denganku, Sea?" ajaknya kemudian.

"Jika pada akhirnya kau akan menurunkan aku di jalan, aku tidak tertarik," Chelsea menolak sebelum terlambat, ia tidak ingin hal serupa terulang.

Luke terkekeh. "Aku tidak bisa memastikan hal itu tidak terjadi. Tapi kali ini aku pastikan kau tidak akan ku telantarkan."

Chelsea menyipit tajam. "Meragukan," komentarnya.

"Kita gunakan mobilmu," Luke menarik paksa lengan Chelsea.

*

Sepanjang mata memandang berisi pepohonan yang hampir keseluruhan daunnya menguning dan gugur tertiup angin. Chelsea menikmati kesejukan yang menerpa wajahnya saat jendela kendaraan roda empat itu di buka. Pertemuan dengan Benedict beberapa hari yang lalu masih betah menghantui pikirannya. Seorang Benedict yang bersedia menciptakan sebuah maha karya berupa makanan untuknya mengusik hatinya. Selama menjadi sandera pria itu, kini sikap Benedict jauh lebih manusiawi.

"Berapa kali kau jatuh cinta," Luke membuka obrolan.

Chelsea menoleh sekilas. "Entahlah, kenapa?"

"Kau terlihat bodoh setiap kali jatuh cinta."

Chelsea melotot protes, tak terima pernyataan sepupunya itu.

"Sudah ku peringatkan jangan jatuh di depan Raymond, terlebih jatuh cinta dan bodoh."

Chelsea mendengus. "Sebenarnya apa hubunganmu dengan dia? Kau salah satu partner?"

"Partner?" Luke tersenyum sinis, kemudian menghembuskan nafas dalam. "Maybe," tanggapnya kemudian.

"Aku tahu kalian suka bermain dengan nyawa, tapi, jika musuh kalian orang yang sama, seharusnya kalian bisa menjadi sekutu."

Luke menoleh sekilas, kepalanya menggeleng mendengar penuturan sepupunya. "Kau sedang mencari alasan untuk mendapat restu dariku?"

Chelsea menatap tak suka. "Aku tidak butuh restu darimu," balasnya sinis.

Luke terkekeh. "Kita lihat saja nanti. Kakek tidak akan setuju jika kau memilih pria yang pernah menculik dan menjadikanmu tawanan."

Chelsea : I Want You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang