Faradita - Bab 2

4.3K 564 27
                                    

"Nai sama Zai udah berangkat?" Mahessa memutus sambungan telepon lalu menyimpan benda elektronik itu ke atas meja begitu melihat Kai memasuki ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nai sama Zai udah berangkat?" Mahessa memutus sambungan telepon lalu menyimpan benda elektronik itu ke atas meja begitu melihat Kai memasuki ruangan.

"Udah, Pi," jawab Kai. "Papi tumben nggak 'titip pesan' dulu sama mereka tadi."

Mahessa meringis, menatap putri sulungnya yang dilahirkan selang beberapa menit sebelum adik-adiknya itu dengan senyum separuh. Paham arti 'titip pesan' yang dimaksud Kai adalah peringatan ini-itu, larangan agar tidak terlalu a, b, c, harus bla bla bla dan jangan bla bla bla. "Kamu tahu Papi sedang belajar mempercayai kalian dengan sepenuh hati, sweetheart. Acara 'titip pesan' yang sering Papi sampaikan itu hanya akan membuktikan sebaliknya."

Kai mengangguk-anggukan kepala di tengah langkahnya menuju kursi di depan meja merah. "Tapi Papi juga tahu, kan, kalau Papi hanya perlu sekali bilang 'tidak' dengan nada tinggi dan... well, sedikit gebrakan meja kalau perlu. Untuk bisa membuat mereka-kami, nurut."

Kai pikir mudah sekali bagi Papinya untuk melarang mereka agar tidak melakukan sesuatu yang memang tidak ia kehendaki. Karena biar bagaimanapun, kalau Mahessa atau Rasi sudah meninggikan suara-yang mana itu jarang sekali terjadi, ia dan saudari-saudarinya tidak akan pernah membantah. Sekalipun rencana-rencana mereka harus gagal, ketiganya tidak memiliki kuasa menolak keputusan orangtuanya.

"Dan membuat kalian merasa terkekang? Terus berontak dan sering bohong sama Mami-Papi?" Mahessa menggeleng, kata berontak terdengar mengerikan di telinganya. Ia tidak mau si Kembar menyandang kata tersebut di belakang nama mereka karena kesalahannya sendiri. Mahessa lebih baik mendengar putri-putrinya berterus terang di awal tentang kemana dan untuk apa mereka pergi daripada diam-diam berbohong dan memendam rasa penasaran menggebu tentang apa yang dibilang 'tidak' olehnya. Mahessa pikir, lebih baik khawatir karena tahu, daripada ketakutan karena tidak tahu sama sekali. "No, Kai. Papi lebih menghargai kejujuran kalian."

Tapi Kai lupa kalau orangtuanya adalah Mahessa Warren dan Rasiana Virgia. Orangtua paling pengertian yang selalu mengedepankan rasionalitas bahkan dalam keadaan yang tidak sesuai dengan pandangan mereka sekalipun. Kai lupa kalau dia dan adik-adiknya memiliki orangtua yang mengagumkan. Dan Kai tidak akan pernah berhenti mensyukuri hal tersebut.

"Terima kasih, Pi." Kai menopang dagu di atas meja kerja Mahessa. Bibirnya melengkungkan senyum geli saat melanjutkan, "Papi tahu nggak? Ada satu kalimat pengingat setiap kali kami merasa sudah hampir melewati batas."

Mahessa sedikit memiringkan kepalanya. "Apa itu?"

Kai berdeham. "Ingat, kepercayaan Mami-Papi adalah harga mati."

Dan tawa Mahessa berderai begitu mendengar Kai mengucapkan 'kalimat pengingat' yang katanya berlaku di antara mereka bertiga itu. Kai berkata dengan intonasi datar dan raut wajah serius seolah memang sedang mendalami betapa tidak main-mainnya kalimat tersebut. Bukan pada kalimatnya Mahessa tertawa, melainkan pada bagaimana cara Kai mengucapkannya.

Faradita; The Moment We Meet, We Fall.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang