Enjoy🌻
"Kemarin itu adalah midterms terbajingan yang pernah gue alami. Les tambahan nggak bener-bener ngebantu banyak, nilai biologi gue nggak jauh beda sama tahun lalu. Senior year is a real thorn in my ass!" Win menenggak minuman di tangannya, lalu mengernyit jijik. "Minuman menjijikkan apaan ini? Sari buah busuk? Gue butuh light white wine atau seenggaknya, bir. Anyep banget ini acara."
Malam ini mereka tengah berada di tengah-tengah acara tahunan penggalangan dana yayasan NIIS. Salah satu acara besar yayasan yang mayoritas diisi oleh para orang tua dan wali murid dari seluruh jenjang pendidikan sebagai calon donatur. Dana yang setiap tahun terkumpul dalam jumlah yang cukup fantastis itu nantinya akan disalurkan ke beberapa badan amal yang telah bekerjasama dengan NIIS.
Tapi, kebanyakan orang memanggil acara ini sebagai ajang pamer kekayaan. Keluarga mana yang paling banyak menulis nominal dalam cek, dia yang akan menjadi headline berhari-hari di Reports. Atau bahkan di setiap pembicaraan, nama mereka akan selalu disebut-sebut. Kebanggaan yang terkadang tidak memiliki arti karena sesuatu yang seharusnya memiliki tujuan mulia, malah tercoreng oleh sesuatu yang sebaliknya.
Kai menggeleng. "Les tambahan jelas nggak akan banyak ngebantu karena lo jarang masuk kelas, Win. Gue cuma pernah liat lo datang tiga kali di Premi."
Win mendesah. "Gue lupa kalau kita satu tempat les, Kai."
"Lo mau nyari mati?" Aby menunjuk sekelompok orang tua yang tengah mengobrol di salah satu sudut gimnasium. Memang agak jauh dari posisi mereka yang saat ini menempati halaman depan, namun tetap akan terlihat apabila salah satu dari mereka membuat 'kegaduhan'. "Minum di hadapan mereka?"
"Sengaja dia, mau ngonfrontasi bokap-nyokapnya karena abis dihajar habis-habisan—mentally, begitu mereka tahu kalau nilai ujian yang jeblok bukan hanya biologi." Gege sedang melonggarkan ikatan dasinya saat memberi Win seringaian menyebalkan.
"Bukannya lo udah bilang kalau bolos les atau kelas tambahan di semester ini adalah suatu keharaman, Win? Nyokap lo udah tahu kelakuan lo yang satu itu, kan? Seharusnya lo nggak punya celah buat kabur." Gish berkata dari belakang tubuh Kai, posisinya berdiri merapat di belakang punggung gadis itu.
"Sayangnya, skill diam-diam cabut yang gue punya masih sangat bagus, Gish. Sayang aja kalau nggak sering-sering diasah."
"Then you get what you deserve. Jangan banyak ngeluh, kuping gue bisa iritasi dengernya." Gish menunjuk satu siswa yang sejak tadi mondar-mandir mendatangi satu persatu murid-murid yang memanggilnya. "Gue nggak tahu nama dia siapa, tapi dia punya sesuatu yang lo mau malam ini. Dozens of beers."
"Cheap beers?" Win menggeleng meremehkan. "Nah, thanks. Not my taste."
Kirei merapikan rambutnya yang tersapu oleh angin malam. "Sok punya selera tinggi lo. Biasanya juga minum apapun asal ngandung beberapa kadar alkohol."
KAMU SEDANG MEMBACA
Faradita; The Moment We Meet, We Fall.
Ficção Adolescente[SEKUEL TRIPLETS SERIES #1 : EVERYTHING IN TIME] Kai benci mengatakan kalau kehidupan masa SMAnya akan berakhir seperti film-film bertema high school kebanyakan. Lingkungan pergaulan yang berlebihan, drama ini-itu, hingga terlibat dalam percintaan s...