Hai! Apa kabar? Masih pada di sini, kan?
Hari terakhir di minggu pertama sekolah baru saja tiba. Hari Jum'at, jadwal Kai full dengan mata pelajaran di kelas umum. Salah satunya pelajaran PJOK di luar ruangan.
Kai mengikat tinggi rambutnya hingga membentuk ekor kuda di belakang kepala. Ia berdiri di pinggir lapangan dengan seragam olahraga yang terpasang lengkap. Bahkan jaket luaran seragam itu masih ia pakai, meski yang lain terlihat berbuat sebaliknya. Melepas dan menyisakan kaos polo putih dibaliknya.
Memangnya siapa pula yang mau memakai jaket olahraga di cuaca yang sedang hangat-hangatnya seperti ini selain Kai? Tidak ada. Bahkan Nai juga Zai yang jam olahraganya samapun telah melepaskan jaket itu.
"Lo nggak lepas jaket, Kai?" Tanya Zai. Gadis itu sedang berjongkok, menyimpul erat tali sepatu olahraganya.
Sedangkan Nai, ia tengah menenteng tas raket tenis miliknya di belakang punggung. "Nggak. Otak pinter dia nggak tau kalau matahari pagi itu bagus buat kulit."
"Kayaknya gue nggak enak badan, deh. Masa cuaca enak gini gue malah kedinginan, sih?" Balas Kai. Kedua tangannya tenggelam di dalam saku jaket bagian depan. "Apa gue izin nggak usah ikut pelajaran olahraga aja kali, ya?"
Nai memanjangkan tangannya, menyentuh dahi Kai.
Sedangkan Zai, ia bangkit dan menghampiri posisi Kai sehingga mereka berdiri berhadapan. Mata gadis itu menyipit. "Lo yakin nggak enak badan?"
"Agak anget, sih. Tapi segini masih termasuk suhu normal, kan?" Nai membandingkan suhu tubuh Kai dengan miliknya dengan cara menyentuh bergantian dahi gadis itu dan dahinya sendiri. "Suhu tubuh gue juga sama. Lo males ikut olahraga aja kali. Ngeles lo, ya?"
Kai menepis tangan Nai yang kini malah mengetuk-ngetuk dahinya dengan sengaja.
"Pusing? Yaudah, lo izin aja kalo nggak enak badan. Penjas bukan mapel yang bakal lo khawatirin nilainya, kan?" Ujar Zai bertolak belakang dengan Nai.
Kai mendesah. Tapi anak baru yang sedang kejar-kejaran dengan waktu sepertinya sebisa mungkin jangan sampai melewatkan mata pelajaran apapun kalau tidak ingin semakin ketinggalan.
"Tapi bukan berarti nggak sama penting. Semua nilai mata pelajaran gue harus seimbang, kalau mau nilai rata-rata nanti bagus."
"Guru penjas lo siapa?" Nai bertanya sambil lalu.
Kai mencoba mengingat nama guru yang tertera di kolom paling ujung daftar jadwal pelajaran miliknya. "Bu Indah. Materi pertama gue atletik."
"Mampus." Nai terbahak. "Kalau lo beneran pusing, mending ke UKS aja. Atletik sama bu Indah nggak bakalan kelar cepet kalau lompat jauh lo dinilai belum sejauh itu sama beliau."
Zai meringis, setuju dengan apa yang diucapkan Nai.
"Untungnya bukan lompat jauh, tapi lari jarak pendek." Kai melongokkan kepala memastikan teman-teman sekelasnya belum turun ke area jogging track dan masih menunggu guru mereka datang. "Kalian ngapain masih di sini? Nai, materi pertama lo permainan bola kecil, kan? Tenis? Noh temen sekelas lo udah pada jalan ke lapangan sebelah." Lalu pandangan Kai mengedar ke arah lapangan basket dan voli yang dikelilingi oleh jogging track. Di lapangan basket, Kai melihat teman-teman Bisnis Zai mulai berkumpul. "Lo kebagian main basket, Zai?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Faradita; The Moment We Meet, We Fall.
Novela Juvenil[SEKUEL TRIPLETS SERIES #1 : EVERYTHING IN TIME] Kai benci mengatakan kalau kehidupan masa SMAnya akan berakhir seperti film-film bertema high school kebanyakan. Lingkungan pergaulan yang berlebihan, drama ini-itu, hingga terlibat dalam percintaan s...