Selamat membaca🌻
Gish meluruskan kakinya di atas punggung kursi tribun yang ada di depan. Rambut dan baju olahraganya terlihat lembap oleh keringet. Gabungan antara rasa gerah setelah sprint dan posisi matahari yang mulai meninggi membuat cowok itu mengernyit tak nyaman, sesekali dia harus mengibas-ibaskan ujung kerah agar angin bisa lebih banyak masuk ke dalam bajunya.
Meski begitu, ia tidak berniat pindah tempat. Selain karena terlalu malas bergerak lagi, tempat ini juga sangat strategis untuk melihat ke arah lapangan basket. Posisi kursi tribun yang tinggi memudahkan Gish mendapat visual yang lebih luas. Setiap sudut dan orang-orang yang sedang bergerak cepat di lapangan basket dapat terlihat jelas dari sini.
Di lapangan basket, ada dua grup murid perempuan yang sedang bermain. Dari kelas sosial. Permainan itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh menit tapi Gish baru bisa menyaksikannya dengan fokus sekarang setelah giliran olahraga larinya selesai.
Gish melipat kedua tangan di depan dada, terlihat sangat fokus dan tertarik menonton permainan basket di depan sana. Untuk seukuran permainan amatir, mereka cukup jago. Meski tidak semua, ada beberapa pemain yang terlihat sudah terbiasa dengan bola besar nan berat itu. Membawanya dalam gerak cekatan dan tak jarang menyumbang poin untuk timnya.
Salah satu pemainnya adalah Kai.
Gish baru pertama kali melihat Kai bergerak seluwes itu. Sesekali ada senyum senang di bibirnya saat berhasil mengoper bola pada temannya dan berhasil membuat orang itu mencetak poin. Raut wajah ekspresif Gish temukan di wajah gadis itu selama permainan berlangsung. Lalu saat ini, saat gadis itu tengah berlari kecil dengan bola yang memantul rendah di bawah telapak tangannya, menghindari incaran lawan, kemudian menembakkan bola ke dalam ring dengan teknik lay-up yang sempurna...
Gish tersenyum.
Kai berlari menyongsong teman-teman setimnya. Berpelukan dan tertawa senang bersama. Poin mereka unggul dari tim lawan.
"That was an impressive two-point shot. She's natural."
Gish mendongak.
Selang beberapa kursi dari posisinya, ada Gege yang sedang berdiri sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana olahraga, menatap ke arah yang sama; lapangan basket.
Gish melengos. Come on, desahnya. Harus banget sekarang? Saat moodnya sedang bagus?
Ia tidak ingin membicarakan apapun tentang Kai bersama Gege. Selama ini, setiap kali mereka sedang kumpul bersama dengan yang lain, Gish selalu menghindari topik obrolan tentang Kai dengan cowok itu. Gish sedang berusaha biasa saja hanya karena mereka bersahabat, tidak ingin memanjangkan urusan. Tapi kalau sudah seperti ini... Gish ragu rasa tidak sukanya pada kelakuan Gege dulu pada Kai akan terlupakan begitu saja.
"Kai masih belum mau maafin gue," tambah Gege saat merasa Gish tidak berniat menimpali basa-basinya.
Gish menghela napas. Tatapannya masih lurus mengikuti gerak ringan Kai di lapangan basket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faradita; The Moment We Meet, We Fall.
Teen Fiction[SEKUEL TRIPLETS SERIES #1 : EVERYTHING IN TIME] Kai benci mengatakan kalau kehidupan masa SMAnya akan berakhir seperti film-film bertema high school kebanyakan. Lingkungan pergaulan yang berlebihan, drama ini-itu, hingga terlibat dalam percintaan s...