Selamat ngabuburit bagi yang menjalankan ibadah puasa✨
"Kenapa kamu dulu sempet denial, Kai?" Gish menurunkan sendok es krim dari mulutnya dan duduk menyamping di atas jok mobil. Memperhatikan Kai yang tengah sibuk menjilati es krim miliknya sendiri. Raut wajahnya terlihat serius, seolah es krim itu adalah satu-satunya hal yang memerlukan perhatiannya. Padahal ada Gish di sisinya.
"Hm?" Kai mendongak, dahinya mengernyit. Setelah melewati waktu belasan menit dalam keheningan, pasca topik pembicaraan random sebelumnya berakhir, Gish tiba-tiba memulai lagi dengan pertanyaan yang tidak Kai mengerti.
"Jepang tiga tahun yang lalu, saat aku konfrontasi. Kenapa kamu mati-matian menghindar?" Gish menaruh wadah es krim yang telah kosong ke dalam cup holder mobil. Sepenuhnya memusatkan perhatian pada Kai.
Kai melihat lelehan es krim di tangannya, segera ia raih tisu kering di atas dashboard. "Bukannya udah jelas?"
"Jelas gimana?"
"Aku pikir kamu udah ngerti sendiri."
"I'm not." Bahu Gish mengedik. "Bahkan kalau dipikir-pikir lagi, kamu belum secara terus terang mengakui kalau jauh sebelum hari ini kita emang pernah ketemu."
Kai meluruskan pandangan melewati jendela depan mobil Gish, melihat bagaimana guyuran air hujan mulai berkurang di luar sana. Mereka tengah berada di area parkir minimarket dekat sekolah setelah Kai memutuskan bolos kelas tambahan karena alasan—tidak bisa fokus, sedang butuh pengalihan. Kepalanya sulit menghilangkan kejadian di taman siang tadi. Gege sialan.
Gish belum bertanya apapun soal itu. Saat menemuinya di balkon lantai 3 gedung sosial, dia tidak mengatakan apa-apa. Menunggu Kai sendiri yang bercerita. Sekali tangannya hanya mengusap kepala Kai lembut dan merapikan rambutnya yang berterbangan karena angin. Seolah memberitahu kalaupun hanya ada hening diantara mereka, Gish akan selalu ada di sana.
Dia hanya sempat mengatakan permintaan maaf satu kali.
"Maaf aku nggak langsung ngasih tahu kamu begitu tahu."
Saat itu Kai hanya menggeleng sambil menunduk. Kai tidak pernah menyalahkan Gish, ia paham. Terlalu banyak yang harus cowok itu pikirkan akhir-akhir ini.
Dan saat jam pulang sekolah tiba, Kai menanyakan jadwalnya. Bertanya apakah sore ini jadwal Gish kosong atau tidak. Alih-alih menjawab, bungsu Baskara itu malah langsung menjemputnya di kelas. Berkata kalau dia akan menemani Kai kemanapun gadis itu ingin pergi.
Hingga kemudian hujan menjebak mereka di halaman parkir sempit sebuah minimarket. Padahal Kai hendak mengajak Gish ke bukit di pinggiran kota, menyaksikan matahari tenggelam bersama.
"Aku melihat kamu sangat memiliki keterikatan emosional yang kuat dengan kejadian waktu itu. Dengan perasaan sekuat itu, juga tekad yang kamu punya buat mencaritahu tokoh lain dibaliknya, aku takut kamu menyakiti Zai. Kita berdua sama-sama tahu kalau momennya nggak pas: saat itu kamu lagi tertarik banget sama Zai, kamu ngasih harapan sama dia." Gish masih setia mendengarkan, namun gerakan Kai yang lagi-lagi menarik tisu kering untuk menghalau lelehan es krim buah di tangannya, sungguh mengganggu. "Coba bayangin kalau aku langsung ngaku. Situasi kita saat ini: kamu yang ngerasa nggak perlu meduliin semua orang untuk bisa gini sama aku, sama orang yang—mungkin, selama ini mengganjal di pikiranmu, akan terjadi saat kamu masih sama Zai. Kamu akan menyakitinya, kita akan menyakitinya. Dan menyakiti saudara sendiri adalah hal terakhir yang aku inginkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Faradita; The Moment We Meet, We Fall.
Ficțiune adolescenți[SEKUEL TRIPLETS SERIES #1 : EVERYTHING IN TIME] Kai benci mengatakan kalau kehidupan masa SMAnya akan berakhir seperti film-film bertema high school kebanyakan. Lingkungan pergaulan yang berlebihan, drama ini-itu, hingga terlibat dalam percintaan s...