Happy reading🌹
Gish merasa hubungan persaudaraannya dengan Arga sangat aneh. Mereka tidak terlalu dekat, tidak juga sering mengobrol. Gish bisa berbicara bebas dengan sahabat-sahabatnya namun tidak bersama Arga, ia kaku. Ia lebih suka diam daripada meladeni kerusuhan saudaranya itu. Arga terlalu berisik dan banyak tingkah. Gish tidak menyukainya.
Untuk seukuran anak sulung dari seorang Ibu macam Astrid Baskara, Arga terlalu santai dan ceria, bahkan terkadang bisa bersikap semaunya. Seakan dia tumbuh di tengah-tengah keluarga normal yang tidak banyak memberi tekanan ini-itu. Seakan hidupnya lebih mudah dari Gish.
Dan karena itu juga Gish tidak menyukainya.
Sifat Arga yang satu itu hanya semakin membuatnya sadar bahwa ada perbedaan yang sangat besar tentang bagaimana cara Astrid mendidik mereka. Ada semacam ungkapan pilih kasih di sana. Arga boleh ini, boleh itu. Sedangkan Gish jangan ini, harus itu, dilarang begitu, dipaksa begini.
Semakin besar, Gish semakin menyadari jurang perbedaan yang memuakkan itu.
Tapi meski begitu, setiap kali Arga menghubunginya melalui panggilan vidio semenjak cowok itu berkuliah di luar negeri, Gish tidak bisa terus-terusan menolaknya. Di beberapa panggilan, ia menerimanya. Hanya agar history panggilan tak terjawab itu tidak semakin menumpuk.
Entahlah. Bisa jadi ada alasan lain dibalik sikap Gish yang tidak bisa menolak panggilan dari Arga setiap waktu.
Bisa saja alasan lain itu adalah Gish yang penasaran ingin mengetahui kebebasan apalagi yang sekiranya Arga peroleh dari Astrid—setelah diberi kebebasan memilik kampus sendiri asal masih memasuki ranah sekolah bisnis dan kebebasan dalam menentukan apapun yang diminatinya. Mungkin Gish hanya ingin tahu seenak apa dirinya bila bisa menempati posisi Arga. Atau mungkin Gish hanya ingin menambah alasan lain untuk semakin tidak menyukai kakaknya itu.
"Gue nggak berharap lo bakal angkat. Ini jam 1 pagi, kan, di Jakarta?"
"Hmm," gumam Gish sebagai jawaban. Kedua tangannya masih bergerak di atas keyboard laptop demi menyelesaikan tugas essai bahasa Inggrisnya.
"Lo lagi ngerjain apa sampe jam 1 pagi gini belum kelar? Nggak punya waktu lain lagi buat ngambis lo?"
Gish mendengus. Mana paham Arga tentang bagaimana rasanya terpaksa harus belajar hingga melewati tengah malam seperti ini. "Tanya sendiri sama nyokap kesayangan lo itu kenapa gue baru bisa ngerjain tugas jam segini."
"Kenapa lagi sekarang? Lo bikin masalah?"
"Sejak kapan bu Astrid nunggu gue kena masalah dulu buat ngasih hukuman? Gue bukan lo, Arga."
Suara decakan Arga terdengar. "Mulai."
"Iya, kan? Gue bukan lo yang dihukum pas lagi kena masalah doang. Gue dihukum karena Mama emang suka jadiin gue pelampiasan. Jadi ya, gue bukan lo, Arga Baskara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Faradita; The Moment We Meet, We Fall.
Teen Fiction[SEKUEL TRIPLETS SERIES #1 : EVERYTHING IN TIME] Kai benci mengatakan kalau kehidupan masa SMAnya akan berakhir seperti film-film bertema high school kebanyakan. Lingkungan pergaulan yang berlebihan, drama ini-itu, hingga terlibat dalam percintaan s...