Faradita - Bab 3

3.6K 472 38
                                    

Gish menatap piring di hadapannya dengan malas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gish menatap piring di hadapannya dengan malas. Piring bermotif rangkaian kelopak bunga sederhana itu lebih menarik perhatiannya dibanding ucapan Astrid—sang Ibu, tentang bagaimana buruknya laporan nilai ujian akhir yang ia ikuti lebih dari satu minggu yang lalu itu. Katanya, Gish terlalu banyak main-main dan menganggap enteng pembelajaran tahun kedua yang baru saja ia lalui.

Cowok itu bahkan tidak mau repot-repot menegakkan tubuh di atas kursi dan tetap bertahan dengan posisi menopang dagu serta raut wajah bosan yang kentara. Kuliah tujuh menit ini biasa ia dengar setidaknya dua kali dalam setahun setelah rekapitulasi nilai dalam rapornya keluar.

Seolah kata-kata yang keluar dari mulut sang Ibu merupakan lagu lama yang sudah dia hapal mati, Gish hanya mengangguk-anggukan kepala tanpa mendengar dengan jelas apa yang sebenarnya sang Ibu paparkan. Gumaman tidak jelas sesekali cowok itu tambahkan bila sang Ibu menginginkannya mengeluarkan suara.

Baru saat melihat Astrid menyimpan kacamata bacanya ke atas meja dengan lemparan kasar, Gish menegakkan tubuh. Mengumpulkan fokusnya yang sempat berceceran.

"Papa kamu bilang, dengan nilai yang kamu punya sekarang di subject Bisnis dan Ekonomi, kalau konsisten atau bahkan bisa lebih, dia yakin kamu akan dapat grade A di ujian A-Level nanti. Dia bilang itu saja sudah cukup. Tapi Mama tidak setuju. Nilai science dan mata pelajaran umum lainnya juga harus seimbang. Setelah nilai sastra yang turun, Mama liat nilai Fisika kamu juga tidak ada bedanya." Astrid menyimpan majalah bisnis yang sejak tadi ia baca ke atas meja. "Ada masalah? Perlu Mama carikan tutor lagi?"

Tutor. Lagi. Gish tidak pernah mengerti dengan jalan pikiran sang Ibu. Apa sebenarnya yang ia harapkan dari pendidikan anak-anaknya? Seolah belum cukup puas dengan keberhasilannya meloloskan putra sulung ke salah satu kampus bergengsi dunia, ia menekan Gish dengan cara yang sama seperti dia menekan Arga dulu. Seolah memaksa Gish untuk mengikuti jejak sang Kakak, bahkan terkadang wanita paruh baya itu menuntut lebih.

Tak heran kenapa semalaman ini ia masih menyempatkan diri membaca majalah kaku seperti itu di atas meja makan.

"Kemaren Mama baru aja bilang kalau aku udah punya tempat di High Edu buat perbaikan sastra Indo. Aku nggak punya waktu luang lagi buat les Fisika."

Jemari lentik terawat milik Astrid mengapit pegangan cangkir teh dengan anggun. "Kamu bisa memasukkan les tambahan itu ke agenda hari minggu. Yang Mama liat, akhir pekan kamu cukup luang. Atau rabu malam. Kamu kosong di waktu itu, kan?"

"Ma," desah Gish berat. Ia sudah cukup dipusingkan dengan ekstrakurikuler dan saturday events yang sekolahnya wajibkan tanpa harus ditambah jadwal lain lagi di hari minggunya yang tenang. "Kapan aku istirahatnya kalau gitu?"

"Setiap malam kamu istirahat, Irgi. Lebih dari 5 jam sehari. Masih kurang?"

"Apa Mama pikir aku nggak perlu bersosialisasi?"

Faradita; The Moment We Meet, We Fall.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang