"Jadi, selain dibangun di atas tanah dengan luas sekitar 18 hektar, memiliki aula dan ruang teater yang bisa menampung lebih dari 900 orang, NIIS juga sering dijadikan tempat pesta kepepet murid-muridnya?" Kai berdiri menyandar pada kusen pintu kamar Nai, memperhatikan bagaimana kedua saudarinya sibuk mempersiapkan diri untuk menghadiri pesta yang katanya akan dimulai kurang dari setengah jam lagi.
"Gue lagi nggak punya waktu ngeladenin sarkas lo itu, Kai. Bisa tolong pergi dari sini dan jangan ganggu kita dulu?" Decakan sebal Nai semakin menjadi saat ia tak juga menemukan leather skirt miliknya di lemari pakaian.
Kai terkekeh. Ia memangku tangannya di atas perut dan mengabaikan gerutuan Nai. "Lo berdua mending tidur, nggak usah datang. Percuma, Papi nggak bakal ngasih izin juga."
"Gue udah izin sama Mami dari jauh-jauh hari. Sebagai gantinya, gue harus menerima ajakan makan malam tadi tanpa protes. We had a deal. Gua sama Zai cuma salah memperkirakan waktu aja."
Zai mendesah kecil. "Tadi Papi sengaja banget ngulur-ngulur waktu pulang."
"That's obvious, he said no."
Mata Zai memicing ke arah Kai. Ikut sebal karena sedari tadi gadis itu seakan menghalangi mereka untuk pergi. "Lo hanya iri karena nggak bisa ikut. NIIS bukan daerah kekuasaan lo."
Bahu Kai terangkat sebelah. "Kalau bisapun gue nggak akan mau. Apa yang menarik dari pesta yang isinya selalu sama? Same shit everywhere."
"Or you can simply say that you are not a party person." Nai berjalan menuju lemari lain saat rok yang ia cari tidak ada di dalam lemari utama yang ukurannya lebih besar.
"Mungkin," ucap Kai tampak tidak begitu peduli. "Mungkin juga nggak. Pesta-pesta kalian nggak ada yang bikin gue tertarik. Selain nyicip gelas alkohol sama joget liar sama cowok nggak jelas, gue nggak tahu apalagi-"
"Jangan keras-keras, bego!" Nai buru-buru menarik Kai masuk hingga membuatnya terhuyung dan hampir menyenggol Zai.
"Aw, watch out, Nai!" Zai yang sedang mematut diri di depan cermin full body berteriak kesakitan saat ujung tumitnya tidak sengaja terantuk kaki Nai yang sudah terbalut stocking dan angkle boots ketika gadis itu menarik Kai masuk. "Lo juga, Kai, jangan nyari ribut mulu bisa nggak, sih?" kesal Zai kemudian dengan raut was-was tak beda jauh dengan Nai. Ia bahkan menyempatkan diri untuk menutup pintu kamar di sela-sela aktivitasnya memadu-madankan warna tas tangan dengan outfitnya.
Kai tertawa lepas melihat keributan itu. Raut panik yang kedua saudarinya tampilkan itu bisa sangat menghibur di saat-saat tertentu. Seperti saat ini, sebebas apapun mereka di luaran sana, di dalam rumah ini jelas kebebasan itu tidak berlaku. Batasan itu nyata dan tebal, bukan hanya untuk Nai atau Zai, dirinyapun sama. Hanya saja arti kebebasan itu sendiri yang berbeda untuk ketiganya.
Nai dan Zai dengan jiwa mereka yang memuja keriuhan pesta, penikmat hiburan-hiburan yang identik dengan pergaulan mereka yang luas dan upper-class. Lalu Kai dengan jiwa petualangnya yang terkadang terlalu memacu adrenalin dan berbahaya. Ruang lingkup pergaulannya lebih kecil dan lebih membumi namun sama bebasnya dengan kedua saudarinya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faradita; The Moment We Meet, We Fall.
Teen Fiction[SEKUEL TRIPLETS SERIES #1 : EVERYTHING IN TIME] Kai benci mengatakan kalau kehidupan masa SMAnya akan berakhir seperti film-film bertema high school kebanyakan. Lingkungan pergaulan yang berlebihan, drama ini-itu, hingga terlibat dalam percintaan s...