Faradita - Bab 27

1.9K 362 79
                                    

Enjoy🌹

Mahessa berdiri di depan pintu rumahnya yang terbuka lebar dengan posisi kedua tangan berada di masing-masing sisi pinggang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mahessa berdiri di depan pintu rumahnya yang terbuka lebar dengan posisi kedua tangan berada di masing-masing sisi pinggang. Arah tatapannya masih menuju jalanan komplek yang baru saja dilewati oleh sebuah mobil asing yang 'membawa' salah satu putrinya.

Mungkin kata membawa terlalu berlebihan—menjemput lebih tepatnya. Dan hingga mobil itu telah sepenuhnya menghilang dari jarak pandangan, pria paruh baya itu masih bertahan di posisi yang sama. Berdiri dengan raut wajah sedikit tidak rela dan keberatan.

Sikap protektif yang muncul setiap kali si Kembar izin 'dijemput' oleh seorang anak laki-laki antah berantah tidak bisa pria itu hindari. Ini memang bukan yang pertama kali—Mahessa beberapa kali terpaksa mengizinkan si Kembar merasakan cinta monyet mereka, tapi rasanya tidak pernah terbiasa. Bahkan kepada Kai yang sering sekali izin keluar meski dengan teman dekat laki-lakinya—Resaka, Mahessa tidak sungguh-sungguh memberikan izinnya.

Perasaan khawatir gagal menjaga itu tetap kuat mematri hatinya. Di satu sisi ia tidak ingin menjadi orang tua yang hobi mengekang, tapi di sisi lain rasanya Mahessa ingin mengunci putri-putrinya di kamar masing-masing dan tidak akan mengizinkan satu orang laki-lakipun membawa mereka keluar. Sampai nanti dirinya sepenuhnya siap. 10-15 tahun lagi, misalnya.

"Kamu nggak siap-siap kerja, Mas?" Rasi datang dari dalam rumah dan langsung mengerutkan dahu bingung melihat sang suami yang masih jauh dari kata siap untuk pergi bekerja. "Jangan bilang kamu masih mikirin anak laki-laki yang tadi jemput Zai?"

"Aku pikir setelah terakhir kali mendengar Zai dan Nai punya pacar, hari seperti ini tidak akan terulang lagi setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Tapi..." Mahessa menggeleng, tangannya mengusap-ngusap rahang selagi berpikir. "Apa kita terlalu membebaskan anak-anak, sayang? Aku selalu ngerasa nyesel setiap kali ada anak laki-laki yang ngajak mereka keluar."

"Anak laki-laki yang barusan kamu bilang ngajak Zai keluar itu... sesederhana ngajak berangkat sekolah bareng. Jangan mulai, deh, berlebihannya." Rasi bergerak meraih cangkir kosong bekas kopi Mahessa di atas meja teras. "Dan nggak, kita nggak terlalu membebaskan anak-anak. We have specific rules for that. They understand and if they break it... they know what the risks are. Aku percaya putri-putri kita tidak akan sebodoh itu, Mas."

Mahessa mendesah. "Ya, tapi bukan untuk yang pertama kalinya. Dalam kurun waktu dua bulan ini dia sudah sering mengantar jemput Zai sekolah, les, Saturday Event, hangout hari minggu... intinya aku saja yang Papinya tidak sesering itu antar jemput Zai. Dia siapa mau melangkahiku?"

Rasi terkekeh. Sebelah tangannya yang tidak memegang cangkir kopi mengusap rahang Mahessa. "Intinya kamu takut kalah saing, sayang?"

Mahessa mengecup bibir istrinya sekilas. "That's ridiculous. Kenapa aku harus takut kalah saing sama bocah umur belasan itu? I'm her Father and even without competing i'm clearly a thousand times better than that boy."

Faradita; The Moment We Meet, We Fall.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang