Masih adakah yang nunggu cerita ini up?
Kalau ada... here you go.
Enjoy🌹Kai menyernyitkan dahi dibalik stir kemudi. Di sampingnya, ada Zai yang baru saja menutup pintu mobil bagian kursi penumpang. Gadis itu langsung menyimpan asal tas ranselnya di bawah kursi dan tanpa mengucap sepatah katapun ia sudah sibuk dengan laptop terbuka di pangkuannya.
"Lo berangkat bareng kita lagi?" Tanya Kai. "Masih nggak ada yang jemput?"
Kalau Kai tidak salah hitung, ini hari ke-8 sopir pribadi Zai absen mengantar-jemput. Terhitung setelah pesta ulang tahun Gish pekan lalu, Zai tidak terlihat sering bertemu dengan cowok itu lagi kalau bukan di hari libur. Di hari liburpun jarang, yang Kai lihat Zai sedang sibuk-sibuknya dengan urusan sekolah. Mengerjakan ini-itulah, menghadiri kelas sana-sinilah, les, dan lain-lain. Sepertinya mereka berdua sama-sama sibuk.
Zai pernah bilang kalau waktu libur Gish itu sangat terbatas, bukan?
"Yup." Zai melirik sekilas Kai di sisinya. "Nggak ada, gue yang minta buat nggak usah antar-jemput lagi. Introgasi Papi makin ngeselin semenjak liat Nai tepar balik dari pesta minggu lalu. Papi tahu itu pesta punya Gish dan mulai nuduh dia yang nggak-nggak. Gue nggak mau mereka sering ketemu dulu."
Kai mengangguk mengerti. Memang sepulang dari pesta itu—yang mana masih terlalu dini, Kai sempat berpapasan dengan Mahessa yang sedang menonton televisi di ruang tengah dan jelas-jelas mendengar racauan Nai yang saat itu Kai rangkul sendiri menuju lantai dua. Meski sudah menyiapkan skenario terburuk semacam itu—ke-gap membawa Nai dalam keadaan mabuk oleh Mahessa atau Rasi, Kai tetap kicep saat diminta menghadap di meja merah ruang kerja sang Papi saat itu juga setelah menidurkan Nai.
Maminya sudah tidur, Kai tidak memiliki backup. Tidak ada yang akan menahan niat Papinya untuk bicara nanti. Tidak ada yang akan mengucapkan, 'sudah malam, Mas. Nanti besok lagi aja.' Lalu Kai akan bebas—setidaknya untuk malam itu saja.
Tidak ada.
Kai harus pasrah saat duduk di depan meja kerja Mahessa dan mendengarkan sang Papi berbicara panjang lebar mengingatkan Kai akan tanggungjawabnya sebagai Kakak. Dan karena merasa ini memang salahnya, Kai hanya bisa meminta maaf dan berusaha akan lebih baik lagi dalam menjaga mereka di masa depan.
Tidak, Mahessa tidak memarahi Kai atas kesalahan yang Nai sendiri buat. Meninggikan suarapun tidak. Pria paruh baya itu hanya bertanya kenapa Kai bisa sampai kecolongan padahal biasanya Kai selalu siaga—setidaknya Mahessa selalu melihat Kai sebagai Kakak yang seperti itu, siaga. Kai tidak akan membiarkan adik-adiknya berbuat sesuatu sesuka hati mereka, Kai akan selalu mengingatkan kalau kepercayaannya dan Rasi adalah harga mati. Kai yang paling tahu batasan, dan seharusnya ia yang mengingatkan Nai tentang batasan itu.
Dan karenanya, Kai melihat lagi sorot kecewa sang Papi. Setelah sekian lama, ia kembali melihatnya. Dan Kai tidak menyukainya. Ia tidak suka membuat kedua orangtuanya kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faradita; The Moment We Meet, We Fall.
Teen Fiction[SEKUEL TRIPLETS SERIES #1 : EVERYTHING IN TIME] Kai benci mengatakan kalau kehidupan masa SMAnya akan berakhir seperti film-film bertema high school kebanyakan. Lingkungan pergaulan yang berlebihan, drama ini-itu, hingga terlibat dalam percintaan s...